Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kontroversi Aturan Jilbab untuk Siswi Non-Muslim SMKN 2 Padang, Berujung Laporan ke Mendikbud hingga Menuai Kritik DPR

Kompas.com - 23/01/2021, 14:26 WIB
Pythag Kurniati

Editor

 

Aturan lama

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Adib Al Fikri mengatakan, sebenarnya aturan tersebut adalah aturan lama.

"Sangat kita sayangkan kejadian ini. Aturan ini sudah lama sebelum pelimpahan wewenang, sejak zaman Wali Kota Padang Fauzi Bahar tahun 2005. Selama ini masih jalan dan baru diprotes hari ini," kata Adib saat dihubungi Kompas.com, Jumat.

Adib mengatakan aturan tersebut akan dievaluasi.

"Pasti kita evaluasi. Nanti yang non-muslim bisa menyesuaikan saja," kata Adib.

Baca juga: Soal Siswi Non-Muslim Wajib Jilbab, Kepala SMKN 2 Padang Minta Maaf

Ombudsman minta keterangan sekolah

Ilustrasi tanda tanyaThinkstock Ilustrasi tanda tanya
Ombudsman Republik Indonesia perwakilan Sumatera Barat pun turun tangan dalam kasus ini.

Mereka meminta klarifikasi Kepala Sekolah terkait dugaan pemaksaan tersebut.

"Kita undang pihak sekolah untuk minta klarifikasi. Belum ada laporan namun ini inisiatif kami karena kasusnya sudah viral," kata Kepala Ombudsman Sumbar Yefri Heriani, Jumat (22/1/2021).

Usai pemanggilan tersebut, pihak sekolah berjanji akan mengevaluasi kebijakan wajib berjilbab itu.

Baca juga: Saya Dipanggil karena Anak Saya Tidak Pakai Jilbab

Anggota DPR minta aturan dicabut

Anggota DPR RI Lisda HendrajoniKOMPAS.COM/PERDANA PUTRA Anggota DPR RI Lisda Hendrajoni

Kontroversi aturan siswi berjilbab ini juga menuai respons anggota DPR RI Komisi VIII Bidang Sosial dan Agama Lisda Hendrajoni.

Lisda meminta aturan yang mewajibkan seluruh siswi di SMKN 2 Padang mengenakan jilbab itu dicabut.

Sebab, ia menilai aturan bertentangan dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika.

"Kita minta aturan itu dicabut. Ini tidak sesuai dengan Bhinneka Tunggal Ika. Kita harus toleransi," tutur Lisda, Sabtu (23/1/2021).

Lisda menambahkan, siapa saja dan dari agama apapun bisa belajar di sekolah negeri.

"Ini akan sangat berbeda kalau sekolah itu dari yayasan atau pondok pesantren. Tentu merujuk ke aturan masing-masing. Itu silakan saja, tapi tidak boleh untuk negeri," tandas dia.

Sumber: Kompas.com (Penulis : Kontributor Padang, Perdana Putra |Editor : Dheri Agriesta, Abba Gabrillin)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com