Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Susu Milo, Ungkapan Kekesalan Warga Nunukan karena Tiap Tahun Dikirimi Banjir dari Malaysia

Kompas.com - 08/01/2021, 15:14 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Masyarakat perbatasan RI – Malaysia di Kabupaten Nunukan Kalimantan Utara, tengah menghadapi banjir yang terjadi sejak 31 Desember 2020.

Banjir rutin tahunan yang merupakan kiriman dari wilayah Malaysia tersebut, selalu merendam sawah dan tambak masyarakat sehingga mereka gagal panen.

Bahkan sejumlah infrastruktur selalu rusak parah.

Ada lima kecamatan langganan banjir, Kecamatan Lumbis Pansiangan, Kecamatan Lumbis Ogong, Kecamatan Lumbis, Kecamatan Sembakung Atulai dan Kecamatan Sembakung.

Baca juga: 3 Bulan Sembunyi di Malaysia, Pemerkosa Warga Sebatik Akhirnya Ditangkap

Camat Lumbis, Efendi, mengatakan banjir berasal dari Sungai Talangkai di Sepulut, Sabah, Malaysia, yang mengalir ke sungai Pampangon, Lagongon ke Pagalungan, lalu memasuki wilayah Indonesia melalui Labang, Sungai Pensiangan dan sungai Sembakung.

"Setiap tahun terjadi banjir kiriman dari Malaysia dan tentu saja merusak fasilitas umum seperti jembatan, dermaga yang tidak permanen sering hanyut, bahkan jalan raya penghubung desa terputus karena terbawa air," ujar Efendi saat dihubungi, Jumat (8/1/2021).

Selain banjir tahunan, ada periode banjir bandang yang memiliki daya rusak lebih parah, biasanya datang selama 4 tahun sekali.

Masyarakat sudah sangat bosan bersuara dan berteriak karena meski persoalan ini dibahas dalam agenda pertemuan Sosial Ekonomi Malaysia Indonesia (Sosek Malindo) saban tahunnya, tidak pernah ada perubahan berarti.

Baca juga: 3 Kelurahan di Kota Bima di Landa Banjir, Wali Kota: Harap Warga Sabar

"Dari dulu sudah begitu, hampir setiap tahun persoalan ini kita suarakan di agenda Sosek Malindo tapi jawabannya hanya normatif, dan tidak ada yang berubah," katanya.

Milo susu menjadi bahasa sindiran masyarakat

Wilayah yang terdampak paling parah saat banjir kiriman datang adalah 4 desa di Kecamatan Sembakung, masing masing Desa Tujung, Desa Bungkul, Desa Tagul dan Desa Atap.

Di wilayah tersebut, biasanya banjir berkepanjangan sehingga mencapai atap rumah dan baru surut dalam waktu sebulan.

Kepala Desa Atap Syahrial menuturkan, saat ini masyarakat belum mau disebut korban banjir.

Baca juga: Potret Pekerja Anak di Industri Kelapa Sawit, Tak Sekolah hingga Diselundupkan ke Malaysia

Bagi warga desa Atap, banjir adalah ketika air sudah merendam rumah dan mereka mencari lokasi untuk mengungsi.

Meski demikian, Syahrial mengatakan, masyarakat sudah sangat muak dengan kondisi ini.

"Sudah berulang kali kita sampaikan ke pemerintah kabupaten bahkan gubernur. Malaysia seharusnya bertanggung jawab atas ini. Mereka gundul dia punya hutan diganti sawit, apa enggak kita yang kena imbasnya," katanya.

Bahkan saking bosannya masyarakat setempat meminta solusi, banjir dengan air coklat pekat dibahasakan dengan istilah kiriman susu Milo dari Malaysia.

"Kita yang di sini parah betul memang, ini air banjir dengan susu Milo ndak ada beda. Makanya kita katakan, orang yang paling senang hidup itu kami, siapa bilang kami miskin? Tiap tahun diantar Milo susu oleh sebelah (Malaysia) sampai muak dan tidak kami minum itu barang" ujarnya lagi.

Baca juga: Cerita 3 Kapal Malaysia Tepergok Curi 3 Ton Ikan, Sempat Memutus Jaring dan Berusaha Kabur

Namun demikian, masyarakat masih mendapat berkah dari banjir kiriman yang terjadi, kepekatan air banjir membuat ikan sekalipun tidak tahan berlama lama di air.

Insang ikan penuh lumpur sehingga saat banjir terjadi, banyak ikan muncul ke permukaan dan menjadi konsumsi masyarakat selama menunggu air surut yang biasanya terjadi sampai sebulan penuh.

Manfaatkan bangunan sarang walet sebagai tempat mengungsi

Sejumlah tetua adat dan kepala desa sudah tidak terhitung berapa kali menyuarakan persoalan tersebut.

Mereka meminta pemerintah Indonesia memaksa Malaysia bertanggung jawab atas banjir kiriman ini.

Syahrial mengatakan, banjir kiriman bahkan bisa datang 8 kali dalam setahun, dengan ketinggian air mencapai atap rumah.

Baca juga: Oknum Anggota DPRD di Kaltara Buron, Diduga Bandar 2 Kg Sabu dari Malaysia

Tak ayal, sawah, ladang dan ternak musnah, sehingga warga di perbatasan kian kesulitan bertahan hidup.

"Pernah kan setahun delapan kali banjir, untung ada kandang burung wallet tinggi dibikin, terpaksa walet diusir dulu, dipakai tempatnya orang mengungsi," katanya.

Keberadaan pengungsi di bangunan sarang burung wallet, dikatakan bukan hal aneh.

Menurut Syahrial, harga sarang walet bukan lagi menjadi perkara penting saat mereka tengah kebanjiran.

"Walet mundur dulu, banyak warga tempati kandang kandang walet, kalau banjir jadi antik ini kampung kita, karena manusia mengisi kandang burung," katanya.

Baca juga: Kaltara Dapat 10.680 Dosis Vaksin Sunovac untuk 4.949 Tenaga Kesehatan

Distribusi bantuan belum maksimal

Kepala Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Nunukan Hasriansyah membenarkan pameo masyarakat terkait banjir kiriman yang terjadi.

Ia juga tidak menampik karena saking terbiasanya, masyarakat baru menyebut kata banjir manakala air sudah merendam rumah mereka.

"Saat ini air dalam rumah itu setinggi mata kaki, kalau kita di kota, melihat ini sudah luar biasa, bagaimana tidak? Rumah mereka kan panggung, kalau dalam rumah setinggi mata kaki, berarti di jalanan orang sudah tenggelam. Tapi selama air belum sampai atap rumah, mereka belum anggap itu banjir," katanya.

BPBD Nunukan belum selesai mendata banyak rumah yang terendam dan jumlah kerugian yang dialami dari banjir tahunan ini.

Sampai hari ini, data banjir yang masuk, baru banjir di Desa Atap, Kecamatan Sembakung, tercatat 116 KK dengan 530 jiwa terdampak.

Sawah seluas 110 hektar, kebun palawija 2 hektar, fasilitas umum seperti sekolah, Pustu, masjid dan posyandu dilaporkan terendam banjir.

Baca juga: Larang Wisatawan Luar Daerah Berkunjung, Pemkab Karawang Lakukan Penyekatan di Perbatasan

Hasriansyah mengakui, sejauh ini, BPBD belum bisa maksimal dalam melakukan penanganan banjir, khususnya di Desa Atap, Kecamatan Sembakung, yang selalu menjadi daerah terparah setiap banjir.

Hal ini dikarenakan, anggaran kebencanaan masih belum turun karena masih di awal tahun, sehingga penanggulangan bencana terhambat.

"Kita memiliki desa Siaga Bencana di kecamatan Sembakung, di sana sentral informasi dan koordinasi. Memang bantuan masih ala kadarnya karena kondisi awal tahun. Saya berharap karena ini bencana, seharusnya selalu ada anggaran ready, sehingga petugas bisa maksimal menangani musibah yang terjadi. Kita lakukan sebisanya dan seadanya dulu saat ini," katanya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com