Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Potret Pekerja Anak di Industri Kelapa Sawit, Tak Sekolah hingga Diselundupkan ke Malaysia

Kompas.com - 03/01/2021, 16:25 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ima adalah seorang anak berusia 10 tahun yang bekerja di sebuah perkebunan kelapa sawit di Indonesia.

Ia membantu memanen buah sawit yang diolah untuk dijadikan produk merek makanan dan kosmetik di luar negeri yang terkemuka.

Ima termasuk di antara puluhan ribu anak yang bekerja bersama orang tua mereka di Indonesia dan Malaysia.

Baca juga: Minta Jokowi Revisi RPP Turunan UU Cipta Kerja, Petani Sawit Ancam Demo

Mereka memasok 85 persen minyak nabati yang paling banyak dikonsumsi di dunia.

Dilansir dari VOA Indonesia, investigasi Associated Press (AP) menemukan bahwa sebagian besar pekerja tersebut berpenghasilan rendah, atau bahkan sama sekali tidak dibayar.

Hal ini bertolak belakang dengan risiko yang mereka terima, yaitu secara rutin terpapar bahan kimia beracun dan kondisi berbahaya lainnya.

Beberapa pekerja anak-anak itu bahkan tidak pernah bersekolah atau tidak belajar membaca dan menulis.

Baca juga: Daftar 7 Konglomerat Sawit Paling Tajir di Indonesia

Beberapa dari mereka juga diselundupkan melintasi perbatasan dan rentan terhadap perdagangan atau pelecehan seksual.

Mereka juga banyak yang hidup dalam ketidakpastian, tanpa kewarganegaraan dan takut terseret dalam penggerebekan polisi dan dijebloskan ke dalam penjara.

AP menggunakan catatan Bea Cukai AS dan data terbaru yang diterbitkan oleh produsen, pedagang, dan pembeli untuk melacak proses pengolahan mereka.

Prosesnya mencakup dihancurkannya biji sawit hingga diolah menjadi sereal, permen, dan es krim anak-anak populer yang dijual oleh Nestle, Unilever, Kellogg's, PepsiCo dan banyak perusahaan makanan terkemuka lainnya, termasuk Ferrero.

Baca juga: Diskriminasi Kelapa Sawit, Pemerintah Gugat Uni Eropa ke WTO Awal 2021

Disuruh berhenti sekolah dan bercita-cita jadi dokter

Asnimawati, gadis 13 tahun, bekerja di perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau.AFP/Adek Berry Asnimawati, gadis 13 tahun, bekerja di perkebunan kelapa sawit di Pelalawan, Provinsi Riau.
Dahulu, Ima pandai dalam bidang studi matematika di kelas dan ia bercita-cita menjadi dokter.

Kemudian suatu hari ayahnya menyuruhnya berhenti sekolah karena bantuan Ima dibutuhkan untuk memenuhi target perkebunan kelapa sawit yang tinggi, tempat dia dilahirkan.

Alih-alih duduk di bangku kelas empat sekolah dasar, Ima malah berjongkok di cuaca panas yang tak ada henti-hentinya untuk mengambil biji-bijian lepas yang berserakan di tanah.

Ia paham betul jika dia melewatkan biji-biji tersebut, bahkan satu biji pun, maka gaji keluarganya akan dipotong.

Baca juga: Meski Indonesia Jadi Produsen Terbesar Dunia, Data Kelapa Sawit Masih Mengacu pada Malaysia

Ima terkadang bekerja 12 jam sehari, dan hanya mengenakan sandal jepit, tanpa sarung tangan.

Ia sesekali menangis ketika duri-duri buah yang tajam membasahi tangannya atau ketika kalajengking menyengat jarinya.

Beban yang dia bawa, terkadang begitu berat hingga dia kehilangan pijakan.

“Saya bermimpi suatu hari saya bisa kembali ke sekolah,” katanya kepada AP. Air mata mengalir di pipinya.

Baca juga: Saksi Ungkap Penjualan Lahan Sawit Rp 15 Miliar ke Nurhadi

Pekerja anak telah lama menjadi noda hitam dalam industri minyak sawit global yang memiliki kapitalisasi pasar senilai $ 65 miliar.

Meskipun sering ditolak atau diremehkan sebagai anak-anak yang hanya membantu keluarga mereka di akhir pekan atau setelah sekolah, hal itu telah diidentifikasi sebagai masalah oleh kelompok hak asasi manusia, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan pemerintah AS.

Dengan sedikit atau tanpa akses ke tempat penitipan anak, beberapa anak kecil mengikuti orang tua mereka ke ladang.

Mereka bersentuhan dengan pupuk dan beberapa pestisida yang dilarang di negara lain.

Baca juga: Protes, Pengusaha Minta Kenaikan Tarif Pungutan Ekspor Sawit Dikaji Ulang

Seiring bertambahnya usia, mereka mendorong gerobak yang berisi buah dua atau tiga kali beratnya.

Beberapa menyiangi dan memangkas pohon tanpa alas kaki. Sementara remaja laki-laki memanen tandan sawit yang cukup besar untuk dihancurkan.

Atau mengiris buah dari cabang yang tinggi dengan pisau sabit yang dipasang pada tiang yang panjang.

Baca juga: Mengevaluasi Program Sawit Rakyat

"Saya ingin menjadi istri pekerja kelapa sawit"

Bayi dan balita perempuan pekerja sawit tidur siang di tempat penitipan anak sementara di Sumatera, Selasa, 14 November 2017, saat orang tua mereka bekerja.dok AP Bayi dan balita perempuan pekerja sawit tidur siang di tempat penitipan anak sementara di Sumatera, Selasa, 14 November 2017, saat orang tua mereka bekerja.
Dalam beberapa kasus, seluruh keluarga hanya dapat menghasilkan kurang dari Rp 70.500 dalam sehari.

“Selama 100 tahun, keluarga terjebak dalam lingkaran kemiskinan dan mereka tidak tahu apa-apa selain bekerja di perkebunan kelapa sawit,” kata Kartika Manurung, yang telah menerbitkan laporan yang merinci masalah ketenagakerjaan di perkebunan Indonesia.

“Ketika saya… bertanya kepada anak-anak mereka ingin menjadi apa ketika mereka besar nanti, beberapa gadis berkata, 'Saya ingin menjadi istri pekerja kelapa sawit.'"

Investigasi AP terhadap pekerja anak mengungkap kasus pemerkosaan, kerja paksa, perdagangan manusia, dan perbudakan.

Baca juga: Harimau Sumatera Melintasi Kebun Sawit Perusahaan untuk Menandai Wilayah

Reporter AP mengunjungi Malaysia dan Indonesia, berbicara dengan lebih dari 130 pekerja saat ini dan mantan pekerja - sekitar dua lusin di antaranya pekerja anak - di hampir 25 perusahaan.

Lokasi mereka tidak diungkapkan dan hanya sebagian nama atau nama panggilan yang digunakan karena khawatir mendapat pembalasan.

AP menemukan anak-anak bekerja di perkebunan dan berbagai laporan pelecehan dengan meninjau laporan polisi dan dokumen hukum.

Wartawan juga mewawancarai lebih dari 100 aktivis, guru, pemimpin serikat pekerja, pejabat pemerintah, peneliti, pengacara dan pendeta, termasuk beberapa yang membantu korban perdagangan manusia atau kekerasan seksual.

Baca juga: Potret Perempuan Pekerja di Lahan Sawit, Diperkosa Bos hingga Keguguran karena Kerja Berat dan Takut Dipecat

Seorang anak membawa biji sawit yang dikumpulkan dari tanah melintasi anak sungai di perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Senin, 13 November 2017. dok AP Seorang anak membawa biji sawit yang dikumpulkan dari tanah melintasi anak sungai di perkebunan kelapa sawit di Sumatera, Senin, 13 November 2017.
Pemerinntah mengatakan mereka tidak tahu berapa banyak anak yang bekerja di industri besar minyak sawit di negara ini, baik pekerja penuh maupun paruh waktu.

Namun, Organisasi Perburuhan Internasional PBB (International Labour Organization/ILO) memperkirakan 1,5 juta anak yang berusia antara 10 dan 17 tahun bekerja di sektor pertanian.

Minyak sawit adalah salah satu industri pertanian terbesar yang mempekerjakan sekitar 16 juta orang.

Sementara di Malaysia, sebuah laporan pemerintah yang baru dirilis memperkirakan lebih dari 33 ribu anak bekerja di industri.

Baca juga: Pemerintah Diminta Investigasi Dugaan Pelanggaran Pembukaan Lahan Sawit di Papua

Mereka berada di bawah kondisi berbahaya - dengan hampir setengah dari mereka berusia antara 5 dan 11 tahun.

Studi tersebut dilakukan pada 2018 setelah negara itu dikecam oleh pemerintah AS karena mempekerjakan anak-anak.

Malaysia juga dikritik karena tidak secara langsung menangani banyaknya anak migran tanpa dokumen yang disembunyikan di banyak perkebunan di negara bagian timurnya.

Indonesia adalah negara dengan populasi 270 juta dan produsen minyak sawit terbesar di dunia.

Baca juga: Hutan Adat Papua Habis Diganti Lahan Sawit, AMAN Singgung RUU 10 Tahun Belum Disahkan

Potret sebuah rumah pekerja perkebunan kelapa sawit distrik Klang, di luar Kuala Lumpur, 16 April 2014.REUTERS/Samsul Said Potret sebuah rumah pekerja perkebunan kelapa sawit distrik Klang, di luar Kuala Lumpur, 16 April 2014.
Banyak pekerja bermigrasi dari daerah miskin untuk mengambil pekerjaan yang dijauhi orang lain.

Mereka sering kali membawa istri dan anak-anak mereka sebagai pembantu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yang sangat tinggi.

Sementara yang lain telah tinggal di perkebunan yang sama selama beberapa generasi, menyediakan tenaga kerja pengganti.

Ketika seorang pemanen sawit pensiun atau meninggal, anggota keluarga yang lain menggantikannya untuk mempertahankan rumah yang disubsidi perusahaan.

Ironisnya perumahan tersebut seringkali berbentuk gubuk bobrok tanpa air mengalir dan terkadang dengan listrik terbatas.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com