Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Di Palu, Buaya Muara Makin Agresif karena Kehilangan Habitat

Kompas.com - 02/01/2021, 12:55 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Empat tahun terakhir tercatat ada empat kali peristiwa serangan buaya muara terhadap manusia di kota Palu, Sulawesi Tengah.

Penyerangan tersebut diduga kuat sebagai dampak semakin menyusutnya habitat reptil besar itu untuk bersarang dan mencari makan.

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sulawesi Tengah mengimbau masyarakat di kota Palu untuk mengurangi aktivitas berenang di sekitar Teluk Palu untuk mengurangi risiko serangan buaya muara.

Baca juga: Cerita Warga Tangkap Buaya 3 Meter yang Diduga Terseret Banjir di Riau

Terakhir, seekor buaya muara menggigit lengan seorang warga kota Palu yang sedang berenang di Pantai Talise pada Minggu (13/12/2020).

Warga itu selamat namun harus menjalani perawatan karena luka gigitan yang serius.

Dilansir dari VOA Indonesia, Kepala BKSDA Sulawesi Tengah, Hasmuni Hasmar mengatakan pihaknya juga telah melakukan pemasangan papan peringatan bahaya buaya tersebut.

“Imbauan untuk pengurangan aktivitas terhadap masyarakat pada tempat atau habitat-habitat yang sering munculnya satwa buaya, khususnya di Palu,” kata Hasmuni Hasmar dalam diskusi virtual Libu Ntodea yang digelar oleh Bappeda Kota Palu, Rabu (23/12/2020).

Baca juga: Bikin Warga Resah, Seekor Buaya Sinyulong Dievakuasi BBKSDA Riau

Diskusi itu bertema “Perlunya Managemen Mitigiasi Konflik Buaya-Manusia."

Dia mengakui BKSDA Sulteng juga telah mengeluarkan izin penangkaran buaya dan dalam dua bulan terakhir, ada empat ekor buaya yang ditangkap diletakkan di lokasi tersebut.

Termasuk seekor buaya betina pada 27 November 2020 yang ditangkap saat terjebak di parkiran sebuah pusat perbelanjaan di Kota Palu. Buaya sepanjang 2,9 meter itu diduga hendak mencari tempat bertelur.

Buaya Muara berada di urutan 173 dalam daftar satwa yang dilindungi berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.

Baca juga: Satu Tertangkap, Diduga Masih Ada 3 Ekor Buaya di Perairan Segara Anakan Nusakambangan

Disebutkan buaya muara (Crocodylus porosus) adalah jenis buaya terbesar di dunia yang hidup di sungai-sungai dan di dekat laut di daerah tropis Asia Selatan, Asia Tenggara dan Australia.

Panjang tubuhnya biasanya antara 4,5 sampai 5,5 meter, namun bisa mencapai lebih dari 6 meter. Bobotnya bisa mencapai lebih dari seribu kilogram.

Wardin, seorang nelayan di pantai Talise mengatakan bulan Desember ini, buaya muara semakin sering terlihat berenang di sekitar pantai tempat para nelayan menempatkan perahu.

Keberadaan buaya-buaya itu menurutnya sangat membahayakan kegiatan nelayan.

“Nelayan maunya pihak terkait supaya ditangkap itu buaya, dipindahkan karena membahayakan bagi nelayan-nelayan. Sering muncul, siang malam muncul," ungkap Wardin bersama nelayan lainnya, Sabtu (19/12/2020).

Baca juga: Cerita Buaya Muara Terjerat Jaring Nelayan, Sudah Mati Lemas dan Ada Luka di Kepala

Kehilangan Habitat

Orang-orang mengamati buaya berkalung ban sepeda motor bekas di lehernya di sungai di Palu, Sulawesi Tengah, 20 September 2016. Antara/Mohamad Hamzah via REUTERS Orang-orang mengamati buaya berkalung ban sepeda motor bekas di lehernya di sungai di Palu, Sulawesi Tengah, 20 September 2016.
Fadly Y. Tantu, dosen Managemen Sumber Daya Perairan Fakultas Peternakan dan Perikanan Univeristas Tadulako mengungkapkan konflik buaya dan manusia di kota Palu dikarenakan satwa liar itu kehilangan habitat mereka.

Habitat buaya tersebut hilang karena kegiatan pembangunan dalam lima tahun terakhir.

Pembuatan tanggul sungai untuk mencegah banjir telah membuat buaya kehilangan tempat bersarang.

“Pembangunan di Palu itu sangat gencar, termasuk pembangunan dalam rangka penataan ekosistem sungai. Penataan untuk mendapatkan keindahan-keindahan dari kota."

Baca juga: Teror Warga Selama 2 Tahun, Buaya di Segara Anakan Nusakambangan Akhirnya Tertangkap

"Pembuatan tanggul-tanggul di sekitar sungai, ini mulai terjadinya konflik-konflik itu, karena manusia mengambil habitat dari buaya itu, sehingga buaya di Teluk Palu itu kehilangan rumahnya," tukas Fadly.

Menurutnya pembangunan pemukiman dan tanggul telah menghilangkan daerah rawa-rawa, termasuk ekosistem bakau (mangrove), tempat berkembang biaknya ikan dan kepiting, yang menjadi makanan utama buaya.

Fadly menjelaskan sampai 2017, buaya memiliki sarang di wilayah muara sungai Palu, namun tempat itu telah rusak akibat tsunami di Teluk Palu pada 28 September 2018.

Pembangunan tanggul laut sepanjang 7,2 kilometer di sepanjang pesisir Teluk Palu untuk menahan banjir rob dan ombak sejak akhir 2019, membuat satwa liar itu bergerak lebih jauh, meninggalkan habitat utama mereka.

Baca juga: Gigit Tangan Warga hingga Hampir Putus, Buaya Muara di Palu Disebut Makin Banyak dan Agresif, Ini Analisisnya

Mitigasi dengan Kegiatan Pengawasan Buaya

Seekor buaya yang berkalung ban sepeda motor di lehernya berjemur di pantai di Kota Palu, Sulawesi Tengah, 16 Januari 2018.Antara/Mohamad Hamzah via REUTERS Seekor buaya yang berkalung ban sepeda motor di lehernya berjemur di pantai di Kota Palu, Sulawesi Tengah, 16 Januari 2018.
Sudaryanto Lamangkona, Kepala Dinas Pemadam Kebakaran dan Penyelamatan Kota Palu menilai dalam jangka pendek perlu dilakukan kegiatan pengawasan pergerakan buaya di wilayah pesisir Teluk Palu terutama untuk melindungi aktivitas nelayan di 13 kelurahan.

Selain itu pesisir Teluk Palu yang memiliki garis pantai sepanjang 41 kilometer, juga memiliki banyak lokasi yang digunakan masyarakat untuk kegiatan berenang dan rekreasi.

“Sayang sekali kalau keindahan Teluk Palu itu bisa menjadi rusak, tidak lagi menjadi impian orang untuk bisa merasakan bagaimana nikmatnya berenang hanya karena terancam keselamatan mereka, ketika berenang ada buaya," katanya.

Baca juga: Mandi di Pantai, Tangan Pria Paruh Baya Ini Nyaris Putus Digigit Buaya

Jumlah buaya di sungai Palu diperkirakan sekitar 60 ekor, termasuk satu ekor buaya berkalung ban yang kemunculannya pada 2016 menyita perhatian luas publik.

Upaya melepaskan kalung ban melibatkan ahli menangkap buaya dalam dan luar negeri pada awal tahun ini terpaksa dihentikan karena pandemi Covid-19

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com