Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kaleidoskop 2020: Kasus Covid-19 Pertama, Penolakan Jenazah hingga Demo Omnibus Law Berujung Ricuh

Kompas.com - 27/12/2020, 21:28 WIB
Riska Farasonalia,
Farid Assifa

Tim Redaksi

SEMARANG, KOMPAS.com – Selama kurun waktu setahun terakhir, banyak peristiwa di Kota Semarang, Jawa Tengah, yang menyita perhatian publik.

Sejumlah peristiwa paling menonjol sepanjang tahun 2020 di Kota Semarang antara lain awal temuan kasus Covid-19, kasus penolakan jenazah pasien Covid-19, penerapan pembatasan kegiatan masyarakat (PKM) hingga Semarang disebut episentrum baru penyebaran Covid-19.

Seiring lonjakan kasus Covid-19 di Kota Semarang, ada juga peristiwa lainnya yakni demo mahasiswa menolak Omnibus Law yang berujung ricuh hingga berbuntut penangkapan empat mahasiswa yang ditetapkan tersangka.

Selain itu yang tak kalah menjadi sorotan tentu saja perhelatan Pilkada Kota Semarang yang mempertarungkan pasangan calon petahana Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu dengan kotak kosong.

Selanjutnya, dalam masa kampanye Pilkada, calon tunggal Hendrar Prihadi terpapar Covid-19 hingga harus menjalani isolasi di rumah sakit.

Dalam kaleidoskop 2020, Kompas.com merangkum seluruh peristiwa paling menonjol di Kota Semarang.

Kasus Covid-19 di Kota Semarang

Kasus Covid-19 di Kota Semarang berawal dari seorang pasien perempuan berusia 63 tahun yang memiliki riwayat bepergian ke Bali pada 17 hingga 22 Februari 2020. Kemudian, pasien mulai sakit pada 6 Maret 2020.

Pasien tersebut kemudian dirujuk ke RSUP Kariadi Semarang dari rumah sakit swasta di Semarang pada 12 Maret 2020.

Lalu pihak rumah sakit mengumumkan pasien dinyatakan positif Covid-19 setelah mendapatkan hasil uji laboratorium dari Litbangkes Jakarta pada Sabtu (14/3/2020).

Baca juga: Angka Aktif Covid-19 di Semarang Tertinggi di Indonesia, Dinkes Kaget

Kemudian menyusul pasien laki-laki berusia 43 tahun yang meninggal dunia pada Selasa (17/3/2020) usai dirujuk ke RSUP Kariadi Semarang pada 10 Maret 2020. Sebelumnya pasien memiliki riwayat bepergian ke Surabaya, Bali, Yogyakarta, dan Jakarta.

Pasien ini dinyatakan positif terinfeksi Covid-19 setelah hasil dari laboratorium Litbangkes Kementerian Kesehatan keluar pada Senin (16/3/2020).

Selanjutnya, warga menolak jenazah seorang perawat yang bertugas di RSUP Kariadi Semarang. Perawat tersebut meninggal dunia karena Covid-19 pada Kamis (9/4/2020).

Jenazah sedianya hendak dimakamkan di di Tempat Pemakaman Umum (TPU) Sewakul, Ungaran, Kabupaten Semarang.

Namun, karena ditolak warga di sekitar lokasi pemakaman itu, akhirnya pasien dipindahkan ke Bergota, kompleks makam keluarga Dr Kariadi Kota Semarang.

Akhirnya tiga pria yang menjadi dalang kasus tersebut ditangkap oleh polisi pada Sabtu (11/4/2020) dan ditetapkan tersangka. Ketiganya adalah THP (31), BSS (54), dan S (60).

"Tiga tersangka yang kami tangkap sekarang sudah ditahan di Polda Jateng dengan ancaman tujuh tahun penjara," jelas Direktur Reskrimum Polda Jateng Kombes Budi Haryanto saat dihubungi Kompas.com, Senin (1/4/2020).

Setelah menjalani persidangan, mereka divonis hukuman selama empat bulan penjara dan denda Rp 100.000 subsider satu bulan penjara.

Vonis ini lebih ringan dari tuntutan jaksa penuntut umum yang meminta tiga terdakwa dihukum kurungan selama tujuh bulan penjara.

Selepas kejadian tersebut, seluruh bupati dan wali kota di wilayah Jawa Tengah diminta untuk menyediakan tanah pemakaman khusus bagi jenazah yang terkait virus corona atau Covid-19.

Instruksi itu tertuang dalam Surat Edaran Gubernur Jawa Tengah Nomor 443.5/0007521 pada 17 April 2020.

“Perlu ketersediaan lahan untuk jenazah korban akibat Covid-19, termasuk tenaga kesehatan yang meninggal dunia,” tulis Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dalam surat edaran yang diterima Kompas.com, Minggu (19/4/2020).

Penyediaan lahan pemakaman dengan mengoptimalkan penggunaan aset tanah milik pemerintah kabupaten/ kota dan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku.

“Hal tersebut agar tidak terulang kembali timbulnya kekhawatiran warga masyarakat terhadap penularan Covid-19 yang berujung pada penolakan pemakaman jenazah korban virus dimaksud,” kata Ganjar

Kemudian, ada sebanyak 46 tenaga medis yang bertugas di RSUP Kariadi Semarang dinyatakan positif Covid-19 dan menjalani isolasi di Hotel Kesambi Hijau Semarang.

Diketahui mereka tertular karena dari pasien yang tidak jujur saat berobat.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menyesalkan ketidakjujuran pasien saat berobat ke RSUP Kariadi Semarang.

Sebab, menurutnya, ketidakjujuran itu bisa membawa bencana bagi siapapun, termasuk para dokter, perawat dan tenaga kesehatan.

"Ini pembelajaran bagi kita bahwa seorang dokter, perawat dan tenaga medis lainnya sangat rentan. Edukasi kita perlu ditambah. Mereka terkena Covid-19 dari pasien yang tidak jujur," kata Ganjar di Semarang, Jumat (17/4/2020).

Banyaknya tenaga medis di RSUP Kariadi Semarang terjangkit Covid-19 itu pun membuat Direktur Utama RSUP Kariadi Semarang Agus Suryanto angkat bicara.

Menurutnya, setelah ditelusuri, tenaga medis tertular dari pasien Covid-19 yang saat itu ditangani di lokus dokter bedah saraf.

Pasien yang dirawat ketika itu mengalami keterlambatan identifikasi Covid-19 dan baru terdeteksi selepas pasien dioperasi.

"Kebetulan pasien bedah saraf yang pulang paksa dan ternyata orangtuanya secara pemeriksaan di tempat lain di daerah terjangkit itu positif, jadi identifikasi terlambat," kata Agus kepada awak media, Jumat (17/4/2020).

Selain itu, penularan juga terjadi di lokus dokter obstetri pada saat menangani pasien hamil yang hendak melahirkan.

Pasien tersebut sudah teridentifikasi Covid-19 dan ditangani sesuai standar operasi pasien penderita Covid-19 dengan menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.

"Seharusnya sudah tidak ada celah lagi untuk tertular. Namun, setelah kami teliti kemungkinan penularan terjadi pada saat pelepasan APD pasca-operasi. Itu yang perlu ditingkatkan," katanya.

Selanjutnya, untuk mengendalikan penyebaran Covid-19 yang semakin massif, Pemerintah Kota Semarang justru tidak memberlakukan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) seperti kota-kota lainnya seperti DKI Jakarta ataupun Tegal, Jawa Tengah.

Pemkot hanya membatasi pergerakan masyarakat dengan menerapkan kebijakan yang dinamakan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) pada 27 April 2020 seiring dengan penutupan sejumlah ruas jalan di Semarang.

Keputusan pelaksanaan PKM tersebut tertuang dalam Peraturan Wali Kota (Perwal) Nomor 28 Tahun 2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PKM) dalam rangka percepatan penanganan Covid-19 di Kota Semarang.

Seiring dilakukan pembatasan, namun Pemkot Semarang juga melakukan upaya pelonggaran di sejumlah sektor. Hal ini dilakukan guna menggerakkan roda perekonomian masyarakat.

Namun, banyaknya jumlah klaster justru ditemukan meski telah dilakukan upaya penindakan. Klaster dimaksud antara lain pasar tradisional, rusunawa, perbankan, ASN Pemkot Semarang, swalayan, pernikahan, tenaga kesehatan, warung makan hingga klaster industri.

Kasus positif di Semarang pun menyumbang tingginya angka Covid-19 di Provinsi Jawa Tengah hingga Kota Lumpia ini ditetapkan sebagai zona merah Covid-19 dan sempat disebut sebagai episentrum baru penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi pun menanggapi soal episentrum baru tersebut sebagai lecutan untuk menggugah kesadaran masyarakatnya agar semakin disiplin menerapkan protokol kesehatan.

"Buat saya yang penting warga Semarang disiplin dalam SOP (standar operasional prosedur) protokol kesehatan dan jaga jarak. Maka kita akan terhindar dari Covid-19 yang berkepanjangan," kata Hendrar di Semarang, Kamis (30/4/2020).

Bertambahnya angka kasus Covid-19 di Kota Semarang yang banyak memakan korban juga membuat dunia kesehatan berduka karena kehilangan sejumlah dokter dan perawat yang gugur sebagai garda terdepan penanganan Covid-19.

Pilkada Kota Semarang

Kontestasi Pilkada Semarang diikuti pasangan petahana Wali Kota Semarang dan Wakil Wali Kota Semarang, Hendrar Prihadi-Hevearita Gunaryanti Rahayu (Hendi-Ita) melawan kotak kosong.

Pasangan tunggal itu mendapat dukungan dari seluruh partai politik untuk kembali maju dalam Pilkada 2020.

Seluruh partai politik yang memiliki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Semarang yaitu PDI-P, Golkar, PKB, Demokrat, PKS, Gerindra, PAN, Nasdem dan PSI kompak mengusung pasangan tersebut.

Baca juga: Hasil Rapat Pleno KPU Semarang, Paslon Hendi-Ita Unggul Telak Lawan Kotak Kosong

 

Selain itu partai seperti PKPI, Partai Hanura, Partai Berkarya, PBB dan PPP juga menyatakan dukungannya.

Seiring pencalonannya sebagai petahana Wali Kota Semarang, pria yang akrab disapa Hendi pun dihadapkan permasalahan terkait kasus perbedaan data dengan pemerintah pusat yang menyebutkan angka kasus Covid-19 menjadi tertinggi di Indonesia.

Menurut Hendi, data kasus aktif Covid-19 di Kota Semarang berbeda dengan data Satgas Covid-19 pusat dengan selisih yang sangat jauh.

Mengumumkan kasus Covid-19 tanpa konfirmasi ke wilayah yang bersangkutan dapat menimbulkan berbagai dampak.

Dampak yang sangat dirasakan adalah timbulnya keresahan warga Kota Semarang.

"Jangan sampai ketidakselarasan data menimbulkan persepsi bahwa kota Semarang tidak melakukan apa-apa, mungkin ini yang harus kita perbaiki bersama-sama," katanya dalam keterangan yang diterima, Kamis (3/9/2020).

Selian itu, ada juga kasus sebuah tangkapan layar percakapan atau chat WhatsApp beredar di media sosial. Gambar itu menampilkan percakapan dua warga Semarang yang sama-sama positif Covid-19.

Salah satu akun menyampaikan kata-kata provokasi untuk menyebarkan Covid-19 di Kota Semarang hingga membuat resah masyarakat karena menjadi viral.

Akhirnya warga tersebut dijemput oleh Satgas Covid-19 untuk menjalani isolasi di Rumah Dinas Wali Kota Semarang.

Selanjutnya, semasa cuti kampanye Pilkada, Hendi dinyatakan positif Covid-19 usai menjalani tes swab di rumah sakit. Hasil uji spesimen Hendi menunjukan positif Covid-19 pada Minggu (1/11/2020).

Saat itu Hendi menjalani perawatan intensif selama sepuluh hari di RSUP Kariadi Semarang hingga dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang pada Rabu (11/11/2020).

Setelah sembuh, Hendi juga sempat mendonorkan plasma konvalesen bagi penderita Covid-19.

Setelah sembuh, Hendi melanjutkan tahapan Pilkada, yakni penajaman visi misi sebagai pengganti debat publik lantaran menjadi calon tunggal.

Kemudian di hari pemungutan suara, berdasarkan quick count atau hitung cepat serta real count KPU, pasangan Hendi-Ita unggul telak melawan kotak kosong dengan perolehan suara 91,57 persen.

Gelombang demonstrasi tolak Omnibus Law

Demonstrasi mahasiswa yang menolak omnibus law Undang-undang Cipta Kerja di Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, pada Rabu (7/10/2020) berujung ricuh.

Massa yang memaksa masuk merobohkan pagar kantor gubernur. Selang beberapa jam massa aksi pun tak bisa terkendali sehingga menyebabkan bentrokan antara para demonstran dan aparat kepolisian.

Polisi pun menembakkan water canon ke arah para demonstran hingga mereka mundur.

Massa aksi semakin tak bisa dikendalikan sehingga polisi menembakkan gas air mata ke arah kerumunan massa.

Baca juga: Jadi Terdakwa Kericuhan Demo Tolak Omnibus Law di Semarang, 4 Mahasiswa Jalani Sidang Perdana

Tembakan gas air mata membuyarkan barisan demonstran sehingga akhirnya mereka membubarkan diri.

Insiden ini berujung penangkapan ratusan demonstran, intimidasi terhadap jurnalis dan penetapan empat mahasiswa sebagai tersangka oleh pihak kepolisian.

Penetapan tersangka empat mahasiswa tersebut menuai kecaman dari para rekannya hingga mereka kembali melakukan aksi turun ke jalan di Kawasan Tugu Muda Semarang, pada Minggu (11/10/2020).

Massa aksi yang tergabung dalam Aliansi Gerakan Rakyat Menggugat (GERAM) mendesak dibebaskannya empat mahasiswa yang ditahan pascainsiden kerusuhan.

Kemudian, empat mahasiswa dikeluarkan dari rumah tahanan Mapolrestabes Semarang dan beralih menjadi status tahanan kota dan dikenai wajib lapor.

Sebelumnya, orangtua mahasiswa sebagai penjamin telah mengajukan permohonan penangguhan penahanan melalui tim advokasi kepada pihak kepolisian.

Hal tersebut dilakukan dengan pertimbangan empat mahasiswa tersebut dapat melanjutkan aktivitas pendidikannya

Selanjutnya, empat mahasiswa menjalani sidang perdana di PN Semarang pada Selasa (22/12/2020) sebagai terdakwa.

Mereka merupakan mahasiswa dari Universitas Diponegoro Semarang (Undip), Universitas Dian Nuswantoro Semarang (Udinus), dan Universitas Islam Sultan Agung Semarang (Unissula).

Selain itu, gelombang demonstrasi menolak Omnibus Law juga datang dari serikat buruh di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Senin (12/10/2020).

Gubernur Jateng Ganjar Pranowo pun terjun langsung menemui massa aksi dalam demo tersebut.

Ganjar meminta buruh tertib dalam menyampaikan aspirasi dan tidak mengabaikan protokol kesehatan.

Selain Ganjar, ada juga perwakilan DPRD Jateng, Kapolda Jateng dan Pangdam IV Diponegoro turun menemui buruh.

Ganjar menegaskan, Pemerintah Provinsi Jawa Tengah memberikan ruang untuk menyampaikan aspirasinya secara terbuka.

Menurutnya, aksi ini bisa menjadi contoh, cara menyampaikan aspirasi kepada pemerintah dengan baik dan benar.

"Mudah-mudahan ini bisa jadi contoh. Jangan khawatir, kami berkomunikasi terus dengan pemerintah pusat untuk menyampaikan pendapat buruh," jelasnya.

"Mereka izin baik-baik. Ini bagus, silakan kita kasih ruang sampaikan apapun. Ternyata kita bisa bicara. Mereka sendiri saja teriak pakai masker, jaga jarak. Maka ini yang buat kita cukup semangat untuk menyampaikan, intinya jelas," ucapnya.

Dugaan kasus korupsi rektor Unnes

Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia oleh mahasiswanya atas kasus dugaan korupsi.

Surat laporan tersebut telah dikirimkan secara langsung oleh pelapor Frans Josua Napitu ke kantor KPK RI pada Jumat (13/11/2020).

Berdasarkan hasil observasi, pelapor menemukan beberapa komponen terkait anggaran di kampusnya yang dinilai janggal.

Dalam laporan kasus tersebut, terdapat rincian komponen anggaran, lampiran dokumen serta data pendukung yang disampaikan secara langsung ke KPK RI untuk dikembangkan lebih lanjut sesuai prosedur hukum yang berlaku.

"Laporan kasus akan diproses sesuai prosedur hukum yang ada. Kami menyerahkan sepenuhnya ke KPK RI," ucap Frans.

Baca juga: Skors Mahasiswa Unnes Usai Laporkan Rektor ke KPK Dinilai Pelanggaran HAM

Menanggapi hal tersebut, Rektor Unnes Fathur Rokhman mengaku belum mendapatkan materi substansi laporan yang disampaikan ke KPK RI.

"Kami belum mendapatkan materi substansi laporan sehingga belum bisa menentukan langkah," katanya.

Dia membantah tudingan atas kasus dugaan korupsi di kampusnya.

Selama ini, pihaknya telah menaati azas sesuai aturan yang berlaku dalam proses penggunaan keuangan dengan prinsip zona integritas dan transparansi.

"Setiap tahun Unnes dimonev (monitoring dan evaluasi) oleh Inspektorat dan BPK, tentunya kami mengikuti arah dan kebijakan pemerintah untuk tata kelola yang sehat," tambahnya.

Kendati demikian, pihaknya meyakini KPK RI akan profesional dalam menangani setiap aduan yang ada.

"Kami percaya KPK lembaga yang kredibel dan telah memiliki mekanisme terhadap laporan masyarakat," katanya.

Dekanat Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang ( Unnes) melayangkan surat keputusan pengembalian pembinaan moral karakter mahasiswanya, Frans, pasca-pelaporan kasus dugaan korupsi rektor ke KPK RI.

Surat keputusan Dekan Fakultas Hukum Nomor 7677/UN37.1.8/HK/2020 itu ditujukan kepada orangtua Frans dan telah dikirimkan melalui pos pada Senin (16/11/2020).

Dalam surat yang ditandatangani oleh Dekan Fakultas Hukum Unnes, Rodiyah, itu disebutkan bahwa segala hak dan kewajiban mahasiswa semester 9 Fakultas Hukum tersebut ditunda selama enam bulan dan akan ditinjau kembali.

Sebelumnya, Rodiyah bersama tim pengembang karakter mahasiswa telah melakukan pembinaan akademik dan moral karakter kepada mahasiswa Bidik Misi selama semester 1-8 tersebut.

Hal tersebut dilakukan karena perbuatan yang pernah dilakukan Frans selama ini dianggap telah melanggar etika mahasiswa dan merusak reputasi Unnes.

Dalam surat tersebut, Frans juga dianggap terlibat dalam sebuah gerakan Organisasi Papua Merdeka (OPM).

Dekan menegaskan, surat keputusan tersebut bukan merupakan sanksi maupun pencabutan status kemahasiswaan Frans.

Namun, lebih kepada memberi kesempatan kepada Frans untuk dibina orangtua yang akan dievaluasi perkembangannya dalam enam bulan ke depan.

"Ini belum merupakan sanksi. Karena pengembalian pembinaan moral karakter bukan sanksi. Saya tidak mengatakan pemutusan dan pencabutan tapi penundaan. Jadi memang masih pembinaan. Kalau sanksi nanti menunggu keputusan rektor. Setelah 6 bulan nanti ada dewan etik universitas untuk mengevaluasi, lalu ada proses berikutnya," katanya.

Atas keputusan dekan tersebut, Frans mengaku kecewa karena dugaan keterlibatan OPM dalam surat keputusan tersebut tidak berdasar.

Frans mengakui sebelumnya pernah mengikuti aksi demonstrasi menolak tindakan rasisme yang terjadi kepada warga Papua bersama Semarang Raya.

Namun, Frans hanya menyuarakan penolakan terhadap diskriminasi yang dialami rakyat Papua karena sebatas ingin menjunjung nilai kemanusiaan.

Kendati demikian, Frans mengaku akan menghadapi keputusan tersebut dengan hati gembira. Dia menyatakan siap menempuh jalur ligitasi dan non litigasi serta fokus pada substansi.

"Yang pasti saya akan hadapi dengan bahagia. Karena saya yakin saya berdiri di jalan yang benar. Saya tidak akan gentar menghadapi itu. Ke depan gerakan litigasi dan non litigasi akan saya tempuh. Kami juga akan menuntut SK skorsing saya dicabut dan fokus pada substansi yang ada," katanya.

Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia ( YLBHI) menilai, keputusan yang diambil Dekan Fakultas Hukum Unnes karena menskors mahasiswanya merupakan tindakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM).

Direktur YLBHI-LBH Kota Semarang Eti Oktaviani menegaskan, alasan skors dengan menuduh Frans sebagai simpatisan OPM adalah alasan yang tidak berdasar dan dibuat-buat.

"Tuduhan tersebut adalah tuduhan lama yang kembali dinaikkan. Alasan tersebut berusaha mengaburkan sebab melaporkan Rektor atas dugaan tindakan korupsi sebagai alasan sebenarnya pemberian skorsing," jelasnya dalam keterangan tertulis, Kamis (19/11/2020).

Menurutnya, keputusan tersebut dinilai telah mencederai kampus sebagai ruang berpikir.

"Sebagai lembaga akademik seharusnya melindungi kemerdekaan berpikir mahasiswa bukan justru menggunakan kekuasaan untuk mengintimidasi kemerdekaan berpikir, mengeluarkan skorsing, bahkan sangat mungkin melakukan drop out/DO dengan alasan yang dibuat-buat," ucapnya.

Skors kepada mahasiswanya dianggap bentuk kedangkalan berpikir yang berbahaya bagi demokrasi kampus.

Sebab, partisipasi mahasiswa untuk mewujudkan dunia akademik yang bersih dan berintegritas tertuang dalam Pasal 28 C ayat (3) UUD 1945.

Dengan didampingi tim kuasa hukum, Frans pun mengambil langkah mengajukan banding administrasi kepada Rektor Unnes sebagai respons dari surat jawaban Dekan FH atas nota keberatan yang sebelumnya telah disampaikan oleh Frans pada 23 November 2020.

Kemudian, nota keberatan tersebut dijawab oleh Dekan FH dengan surat pada 1 Desember 2020 yang intinya surat keputusan yang diterbitkan bukan merupakan bentuk skorsing serta berharap keterlibatan orangtua Frans atas persoalan yang menimpa anaknya.

Untuk itu, tim kuasa hukum Frans meminta kepada Rektor Unnes untuk membatalkan surat keputusan Dekan FH tersebut.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com