Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Pasutri Tertua yang Ikut Program Bayi Tabung, Melahirkan Setelah 21 Tahun Pernikahan: Saya Bahagia

Kompas.com - 24/12/2020, 08:18 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Setelah 21 tahun menanti dan berikhtiar, pasangan suam istri Su'diyah, 43 tahun dan Somidi, 50 tahun, warga Sumenep, Madura memiliki buah hati.

Dalam usia mereka, dokter menyebut sebetulnya tingkat keberhasilan program bayi tabung hanya 5-10%.

Perempuan itu tengah menggendong bayinya. Berkali-kali ia mengusap kening putrinya yang tampak berkeringat siang itu.

Sambil berjalan di emperan ruko yang disewanya, ia tak bisa menyembunyikan senyum sumringah yang terus merekah di bibirnya.

Baca juga: Mengenal Program Bayi Tabung, Bagaimana Prosesnya?

Su'diyah, perempuan itu, bersama suami dan bayi mereka mendadak tenar pada awal Desember 2020.

Pasalnya, setelah 21 tahun menanti buah hati, akhirnya Tuhan mengabulkan doa mereka. Su'diyah melahirkan putri pertama.

"Saya sangat bahagia sekali soalnya sudah lama sekali menunggu dikasih momongan, sekarang sudah dikasih kepercayaan sama Allah," ucap Su'diyah penuh syukur kepada wartawan yang melaporkan untuk BBC Indonesia.

Bayi itu dinamai Aisyah Naziah Almahiroh, lahir melalui program bayi tabung, pada 1 Desember silam.

Baca juga: Bantu Ibu Melahirkan di Dalam Taksi, Dedi Jadi Pahlawan Biru, Ini Ceritanya

Dokter yang membantu mereka menyatakan Su'diyah dan suaminya adalah pasangan tertua program bayi tabung yang pernah ia tangani.

Somidi, suaminya berusia 50 tahun saat memulai program bayi tabung ini, dan Su'diyah berusia 43 tahun.

Awal mula ikut program bayi tabung

Sudiyah-Somidi, pasangan tertua yang mengikuti program bayi tabung dan berhasildr Benediktus Arifin Sudiyah-Somidi, pasangan tertua yang mengikuti program bayi tabung dan berhasil
Semua berawal pada Desember 2018 silam.

Pada satu hari menjelang akhir tahun itu, Su'diyah mendapati dirinya telat menstruasi, ia kaget karena kondisi itu belum pernah terjadi sebelumnya. Lalu Su'diyah menceritakannya pada Somidi.

Mereka pun mencoba melakukan uji kehamilan dengan menggunakan test pack. Namun hasilnya negatif.

Karena rasa penasaran, pasangan suami istri itu kemudian memeriksakan diri ke dokter spesialis kandungan di Sumenep, Madura. Atas saran kerabat, mereka mendatangi dokter Rahmi Utami.

Baca juga: Kisah Dedi, Sopir Taksi yang Bantu Ibu Melahirkan, Gendong Bayi Berselimut Cairan ke Klinik

Namun, hasilnya tidak berubah, rahim Su'diyah belum 'berbuah'.

"Mungkin ibu kecapean atau kurang hormon, terus dokter ngasih obat sama saya untuk melancarkan menstruasi," kenang Su'diyah menirukan dokter Rahmi kala itu.

Setelah berkonsultasi, Su'diyah dan suaminya diberi dua pilihan untuk bisa mendapat momongan, ikut terapi kehamilan yang butuh waktu sekitar enam bulan, atau memilih program bayi tabung yang lebih menjanjikan, tapi biayanya lebih besar.

Baca juga: Gara-gara Belum Tes Covid-19, Ibu Hendak Melahirkan Tak Dilayani Rumah Sakit, Keluarga Mengamuk

Dua pilihan itu didiskusikan, hingga akhirnya keduanya memutuskan untuk ikut program bayi tabung di Morula IVF Surabaya atas saran dokter Rahmi.

"Mengingat umur sudah tua, waktu itu saya 50 tahun usianya dan istri saya sudah 43 tahun, sedangkan cara alami sudah puluhan tahun saya lakukan," jelas Somidi mengenai keputusannya memilih bayi tabung.

Tepat pada 16 Februari 2019, mereka bertemu dokter Benediktus Arifin untuk memulai program.

Baca juga: Cerita Nani, Ibu yang Melahirkan Bayi di TPS, Tetap Mencoblos Usai Persalinan

Bukan Pilihan Mudah

Somidi berusia 50 tahun saat memutuskan ikut program bayi tabung bersama istrinyaBBC Indonesia/Mustopa Somidi berusia 50 tahun saat memutuskan ikut program bayi tabung bersama istrinya
Pilihan untuk mengikuti program bayi tabung, tak lantas membuat perjuangan Su'diyah dan suaminya menjadi lebih mudah. Hari-hari yang lebih berat harus mereka hadapi untuk bisa mewujudkan keinginan menggendong buah hati.

Pasutri itu harus bolak-balik Sumenep - Surabaya dengan menempuh 6 jam perjalanan darat.

Bahkan, mereka harus rela berangkat pukul 02.00 dini hari agar bisa datang tepat waktu ketika mendapat jadwal pemeriksaan pagi.

Pernah, dalam perjalanan pulang dari Surabaya, mini bus yang mereka tumpangi terlibat kecelakaan di Kabupaten Pamekasan, Madura. Beruntung, peristiwa itu tidak sampai memakan korban, hanya merusak pintu kendaraan.

Baca juga: Ibu di Mamuju Melahirkan Bayinya di TPS, Terasa Mulas Saat Antre Mencoblos

Su'diyah dan Somidi juga mendapati kenyataan bahwa embrio yang dihasilkan dari peleburan sel sperma dan sel telur mereka tidak bisa langsung ditanam. Sehingga prosesnya menjadi lebih lama.

"Ketika kami persiapan untuk penanaman itu kami harus melihat bahwa rahim harus bagus, indung telur harus bagus, pada saat itu memang ada kista yang harus kami bereskan dulu, kemudian kami lakukan operasi mini untuk dibereskan, kemudian kami persiapkan lagi rahimnya," dokter Benediktus menjelaskan.

Embrio, baru bisa ditanam pada April 2020, atau 14 bulan setelah keduanya memulai program bayi tabung.

Baca juga: Viral di Medsos, Ibu Mau Melahirkan Harus Ditandu karena Jalan Rusak di Lebak, Ini Respons Kades dan Camat

Total butuh waktu 23 bulan hingga akhirnya Su'diyah melahirkan. Selama masa penantian, Su'diyah juga wajib mengonsumsi beragam obat dan harus menghindari beberapa makanan.

Namun, ujian itu tak membuat Su'diyah menyerah, keinginan untuk punya anak, lebih besar dari hambatan yang harus dihadapi.

Divonis Menopause Dini

Sudiyah kaget ketika seorang dokter menyebut ia memasuki masa menopauseBBC Indonesia/Mustopa Sudiyah kaget ketika seorang dokter menyebut ia memasuki masa menopause
Hati Su'diyah sempat hancur ketika seorang dokter memvonis dirinya memasuki masa menopause atau berakhirnya siklus menstruasi, yang berarti peluangnya untuk hamil akan tertutup.

Pengalaman buruk itu ia alami ketika berkonsultasi dengan dokter spesialis kandungan di Pamekasan.

"Saya kaget, kok bisa ya. Wong, mbak saya yang nomor dua masih mens biasa, masih normal saja, kok saya nomor 4 dibilang menuju menopause, makanya suami saya enggak mau kembali lagi ke sana," tutur Su'diyah.

Baca juga: Ibu Hamil Positif Covid-19, Haruskah Melahirkan dengan Operasi Caesar?

Namun, ia tidak bisa menyebutkan tanggal, meski ia sudah berusaha mengingatnya. Belakangan ia senang karena ucapan dokter itu tidak terbukti.

Sebelum divonis menopause, Su'diyah bersama suaminya juga menjalani terapi tiup atau hidrotubasi, namun usaha itu juga tidak berhasil.

"Jadi saya dilakukan peniupan oleh dokternya ternyata enggak berhasil, disarankan untuk operasi caesar kecil untuk membuka penyumbatannya," jelas Su'diyah.

Baca juga: 5 Kisah Ibu Melahirkan Saat Perjalanan, Persalinan di Kapal Laut hingga Mobil Patroli Polisi

Namun, operasi itu tidak pernah terjadi, selain karena takut, ia dan suaminya tidak punya biaya. Sebab, tak sedikit biaya yang sudah mereka keluarkan untuk bisa mendapatkan momongan.

Sementara untuk mengikuti program bayi tabung, mereka mengeluarkan biaya sekitar Rp 200 juta sampai melahirkan. Untuk mendapatkan biaya tersebut, mereka menggunakan seluruh tabungan dan berjualan kripik singkong sebagai tambahan.

Sehari-hari mereka berjualan perabotan rumah tangga di ruko yang mereka sewa di kompleks Asta Tinggi, sebuah kawasan wisata religi di Desa Kebonagung, Kota Sumenep.

Baca juga: Cerita Ibu Hamil Melahirkan di Kabin Lion Air, Dibantu Penumpang Dokter hingga Pendaratan Dialihkan

Pasangan tertua

Tingkat keberhasilan program bayi tabung untuk usia 40 tahun ke atas sebenarnya sangat kecil, hanya 5-10 persen, kata dokter Bennydr Benediktus Arifin Tingkat keberhasilan program bayi tabung untuk usia 40 tahun ke atas sebenarnya sangat kecil, hanya 5-10 persen, kata dokter Benny
Dokter Benediktus Arifin menjadi saksi perjuangan suami istri asal Dusun Pakondang Daya, Desa Pakondang, Kecamatan Rubaru, Kabupaten Sumenep, Jawa Timur itu.

Dokter inilah yang pertama kali membuat tenar Su'diyah dan Somidi melalui unggahan foto di akun Instagram.

"Saya sendiri terus terang terharu lho, pada saat mau melahirkan itu, waktu mau caesar, (perjuangannya) luar biasa" kata dokter yang disapa Benny itu menceritakan momen pasutri itu menantikan kelahiran anak pertama mereka.

Baca juga: Cerita Bidan Indriyani Bantu Ibu Melahirkan di Emperan Toko: Saya Melihat Satu Kaki Bayi Sudah Keluar

Dokter Benny menyebut kegigihan, kesabaran adalah kunci di balik keberhasilan Somidi dan istrinya menjalankan program bayi tabung di Morula IVF, Surabaya, tempat dirinya bekerja.

"Mereka juga tepat waktu, datang hampir enggak pernah terlambat, luar biasa, saya merasa memang mereka berikhtiar, istilahnya punya niat luar biasa, dorongannya luar biasa," tegas Benny.

Lebih lanjut, dokter ini menjelaskan tingkat keberhasilan program bayi tabung untuk usia 40 tahun ke atas sebenarnya sangat kecil, hanya 5-10 persen.

Somidi dan Su'diyah menjadi pasangan tertua yang pernah ditangani dan sukses menjalani program bayi tabung di Morula IVF.

Baca juga: Melahirkan pada Masa Pandemi, Wanita Karier Ini Manfaatkan BPJS Kesehatan

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Dr.Benediktus A,MPH,Sp.OG(K) (@drbennyarifin)

Dengan tingkat keberhasilan yang rendah, dokter Benny bersama dua koleganya, dokter Amang Surya dan dokter Ali Mahmud, harus benar-benar memilih sel telur dan sel sperma yang berkualitas. Sehingga peluang untuk berhasil bisa lebih besar.

"Tapi begitu saya melihat pak Somidi spermanya ini masih cocok, masih oke untuk bayi tabung, Bu Su'diyah juga sel telurnya masih ada, walaupun kami tahu bahwa tidak semua pada usia segitu sel telurnya cukup dan baik," sambungnya.

Dokter Benny mengaku juga masih menyimpan satu embrio milik Su'diyah dan Somidi. Sehingga, ada harapan Aisyah akan punya adik. Tinggal menunggu waktu yang tepat untuk menanamnya ke dalam rahim Su'diyah.

Baca juga: Hendak Dijemput Paksa Keluarga, Pasien yang Baru Melahirkan Ini Ternyata Positif Covid-19

Perjuangan Somidi dan Su'diyah menurut Benny seharusnya menjadi contoh bagi keluarga lain untuk tidak mudah putus asa sebelum memeriksakan diri ke dokter. Terutama bagi pasangan muda yang masih belum bisa momongan.

"Dengan ada ini justru ingin membangkitkan semangat untuk yang lain, sebaiknya diperiksa, karena sering kali yang menjadi masalah wanita, oh ini perempuannya enggak bisa hamil, padahal sebenarnya enggak," jelas dokter yang mendapat gelar Phd dari Maastricht University, Belanda itu.

"Pada intinya dari statistik bahkan di seluruh dunia itu separuh masalah kesuburan adalah masalah pria dan separuhnya adalah masalah wanita," tegasnya

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com