Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Mengenal Sosok Tri Mumpuni, Pecinta Desa yang Jadi Tokoh Muslim Berpengaruh di Dunia

Kompas.com - 20/12/2020, 17:23 WIB
Reni Susanti,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

Usaha tak selalu sukses

Tri menjelaskan, kegiatannya tak selalu sukses. Ada kalanya dia mengalami kegagalan. 

Ketika dia gagal, biasanya mundur dulu dan mengganti strategi dalam mendekati masyarakat. Seperti terjadi di sebuah desa pedalaman.

Saat itu pihaknya tak mau membangun mikrohidro karena kepala desa mau mengambil manfaat. Pihaknya lalu mundur dan membuat beberapa kali pertemuan hingga lahirlah kesepakatan yang harus ditandatangani masyarakat dan kades.

Pihaknya menunggu sampai muncul kesadaran di masyarakat. Ia keukeuh karena kegiatan ini memberikan keuntungan secara kolektif jadi harus ada konsensus tentang manfaat yang didapat dari kegiatan ini, bukan untuk keuntungan satu dua orang elit desa.

"Biasanya mereka lalu sepakat. Kadang masyarakat desa juga perlu 'gertakan'," katanya sambil tertawa.

Kadang frustasi jika tak ada yang mendukung

Sebagai manusia biasa, Tri juga kadang stres. Ia frustasi jika bertemu aparat yang tidak mendukungnya di lapangan.

Mereka mengira kegiatan ini adalah proyek dan mereka mengharapkan bagian.

Tapi hal ini adalah tantangan yang akan dihadapi, lahir, hidup dan dibesarkan di negara berkembang dimana aparat juga perlu di-empower, tidak hanya penduduknya saja. Kadang energi habis hanya untuk memberitahu bahwa semua pihak harus membangun bangsa ini bersama-sama agar segera maju dan tidak semakin tertinggal.

Ketika Tri putus asa, dia akan selalu ingat bahwa ‘Allah’ selalu memudahkan jalan umatnya jika bekerja tulus dan ikhlas.

Dan Tri selalu ingat wajah-wajah masyarakat desa yang perlu uluran tangan untuk bisa berdaya. Hal itu jadi senjata dasyat untuk memulihkan semangatnya.

 

Berpendidikan tinggi, tapi jatuh cinta pada desa

Sejak dulu, Tri sangat mencintai alam pedesaan dengan memasyarakatnya yang masih lugu. Di sanalah Indonesia harusnya memulai pembangunan.

Namun karena itu tidak dilakukan Indonesia, maka ia dan suaminya terpanggil membangun desa. Ia sendiri menggeluti pembangunan perdesaan sejak kuliah di Institut Pertanian Bogor (IPB).

Saat itu, ia terlibat dalam kegiatan pembangunan masyarakat perdesaan di pinggiran danau Toba Sumatera Selatan dengan program pengembangan ikan tilapia merah bantuan USAID untuk peternak ikan di pinggiran Danau Toba.

Sempat tertarik pemberdayaan warga miskin kota

Setelah itu ia sempat menggeluti pembangunan perkotaan buat masyarakat miskin kota, namun hanya bertahan dua tahun. 


Ia menemukan ketidakpastian pembangunan perkotaan di Indonesia karena uang lebih banyak bicara.

Ia mengistilahkan money driven development, tidak ada perencanaan kota yang jelas. Siapa punya uang, dia bisa memberi warna bagi kota di Indonesia.

Akhirnya, dia memutuskan bergabung dengan suami kembali ke pedesaan. Suami mengurusi teknologinya dan Tri mengurusi pembangunan sosial masyarakat dan ekonominya dengan memanfaatkan teknologi.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com