Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Mbah Asih Sang Juru Kunci, Penjaga Pintu Gunung Merapi

Kompas.com - 20/12/2020, 07:08 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Ketika Gunung Merapi memperlihatkan peningkatan aktivitas di awal November lalu, perhatian publik tak hanya tertuju pada badan pemerintah yang menangani kebencanaan geologi, tapi juga pada seorang pria bernama Asihono.

Dialah juru kunci Gunung Merapi pengganti mendiang Mbah Maridjan.

Pada suatu pagi di akhir November, Mbah Asih, begitu dia kini disapa, sedang duduk-duduk di beranda bersama ibu, istri, dan dua anaknya saat ia berkata, "Status Merapi sudah naik menjadi siaga."

Rumah Asih terletak di lereng Merapi, yakni di Karang Kendal, Umbulharjo, Cangkringan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, delapan kilometer dari puncak Gunung Merapi.

Baca juga: Kabupaten Magelang Perpanjang Masa Tanggap Darurat Bencana Merapi

Sebagai juru kunci, informasi status Merapi itu tak hanya dia kabarkan kepada keluarganya.

Dia juga bertanggung jawab untuk menyebarkan informasi tersebut kepada masyarakat, termasuk mengimbau supaya mereka berhati-hati dalam menjalankan kegiatan.

"Kami sebagai juru kunci mengajak masyarakat meningkatkan kewaspadaaan," ujar lelaki yang sekarang memiliki gelar Mas Kliwon Surakso Hargo.

Baca juga: Beredar Hoaks Covid-19, Pengungsi Merapi di Sleman Sempat Kembali ke Rumah

Pengganti Mbah Maridjan

Asih atau Mas Lurah Suraksosihono menerima surat kekancingan juru kunci Gunung Merapi dari GBPH H Joyokusumo di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, DI Yogyakarta, Senin (4/4/2011). Asih yang merupakan anak dari Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi sebagai ayahnya. TRIBUNJOGJA.COM/ HASAN SAKRI GHAZALI Asih atau Mas Lurah Suraksosihono menerima surat kekancingan juru kunci Gunung Merapi dari GBPH H Joyokusumo di Bangsal Kasatriyan, Keraton Yogyakarta, DI Yogyakarta, Senin (4/4/2011). Asih yang merupakan anak dari Mbah Maridjan diangkat menjadi abdi dalem juru kunci Gunung Merapi sebagai ayahnya.
Asih adalah anak keempat dari enam bersaudara, pasangan Mbah Mardijan dan Mbah Ponirah. Sultan Hamengkubuwono X mengangkatnya menjadi Juru Kunci Merapi pada 4 April 2011, menggantikan ayahnya, mendiang Mbah Maridjan, yang meninggal saat terjadi erupsi Merapi pada Oktober 2010.

Sebagai juru kunci penerus Mbah Maridjan, lelaki berusia 54 tahun itu berkewajiban melaksanakan tugas dari Keraton Yogyakarta untuk melakukan Labuhan Merapi setahun sekali.

Bagi Asih, Labuhan Merapi yang diadakan setiap Bulan Rajab dalam penanggalan Jawa, adalah acara spiritual dari Keraton Yogyakarta yang merupakan ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah memberikan rejeki dan nikmat kehidupan kepada masyarakat, khususnya di sekitar Gunung Merapi.

Baca juga: Intensitas Gempa Gunung Merapi pada Pekan Ini Menurun

Dalam ritual itu, Juru Kunci Merapi berperan memimpin doa.

"Bersyukur dan memohon keselamatan kepada Allah, agar warga Merapi mendapat keselamatan dan rejeki yang banyak," ujar Asih, menjelaskan kepada BBC News Indonesia.

Dan di pagi itu, Asih memberikan pengertian kepada keluarganya bahwa Merapi adalah sahabat karena ketika kondisi Merapi berstatus aman dan normal, Merapi memberikan kesuburan tanah untuk bercocok tanam, memberikan rumput segar untuk pakan ternak, dan memberikan pasir yang melimpah yang bisa dimanfaatkan untuk pembangunan.

"Makanya kita harus selalu menjaga alam dan jangan sampai merusak, tidak boleh menebang kayu seenaknya, merusak pepohonan, tapi kita harus memelihara," kata Asih kepada keluarganya yang meriung di teras rumah.

Baca juga: Pengungsi Merapi Nyoblos Pilkada Sleman: Saya Tak Bisa Baca, Ya Asal Dicoblos Saja

Aktivitas Merapi

Stupa-stupa di Borobudur diberikan selubung agara terlindung dari abu vulkanis Gunung Merapi.dok BBC Indonesia Stupa-stupa di Borobudur diberikan selubung agara terlindung dari abu vulkanis Gunung Merapi.
Dalam menjalankan tugasnya, Asih tetap berkoordinasi dengan Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG), yang mendeteksi aktivitas Gunung Merapi menggunakan beragam teknologi.

Menurut Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, peralatan BPPTKG untuk melakukan pemantauan Gunung Merapi sangat lengkap seperti Seismometer untuk mendeteksi kegempaan atau getaran, dan Global Positioning System (GPS) serta Electronic Distance Measurement (EDM) untuk mengukur deformasi atau penggembungan pada badan Gunung Merapi.

Menurut Hanik, tim informasi BPPTKG terus memberikan informasi dan sosialiasi kepada masyarakat serta telah berkoordinasi kepada instansi terkait, seperti ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).

Baca juga: Satu TPS di KRB Merapi Dipindahkan ke Barak Pengungsian Glagaharjo Sleman

BPPTKG merekomendasikan untuk mengosongkan kawasan yang berada di dalam radius lima kilometer dari puncak Merapi masuk kawasan yang berbahaya.

Sementara BPBD dan sejumlah warga sekitar terus melakukan pengamatan di sejumlah tempat.

Mereka juga menjaga dan menutup akses jalan ke lokasi-lokasi wisata yang berada di daerah rawan seperti lokasi wisata Klangon Kalitengah Lor yang jaraknya hanya sekitar tiga kilometer dari puncak Merapi.

Menurut Kepala BPPTKG Hanik Humaida, lembaganya selalu memperbarui data dan informasi yang kemudian disampaikan kepada masyarakat melalui berbagai fasilitas media sosial dan aplikasi agar mudah diakses.

"Masyarakat agar mengikuti informasi dari kami dan imbauan pemerintah setempat. Tentunya berita informasi yang resmi dari pemerintah," kata Hanik.

Baca juga: Akibat Guguran Lava, Morfologi Gunung Merapi Berubah, Permukaan Kawah Terangkat

Juru kunci Merapi di era teknologi

Asih sehari-hari bekerja sebagai karyawan administrasi di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia (UII).dok BBC Indonesia Asih sehari-hari bekerja sebagai karyawan administrasi di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia (UII).
Asih sebagai Juru Kunci Merapi, mengambil peran untuk menginformasikan kepada masyarakat sekitar Merapi untuk lebih hati-hati dan waspada. Dia bergabung dan berbaur dengan masyarakat untuk berjaga dan selalu mengamati kondisi Merapi.

"Kalau ada sesuatu, kami ikut berperan menginformasikan kepada masyakat agar mereka bisa segera tahu," katanya.

Hanik pun mengaku berkoordinasi dengan Asih sebagai Juru Kunci Merapi untuk menyampaikan informasi aktivitas terbaru Gunung Merapi. Asih juga pernah datang ke kantor BPPTKG untuk melihat aktivitas orang-orang di BPPTKG dalam melakukan pemantauan Merapi.

"Saya kira informasi dari BPPTKG diikuti Mas Asih, beliau juga mengikuti perkembangan dari kami," kata Hanik.

Baca juga: Sleman dan Klaten Siap Terima Pengungsi Gunung Merapi Lintas Wilayah

Informasi tentang aktivitas Merapi dari BPPTKG yang menggunakan teknologi modern itu lebih populer di masyarakat generasi sekarang yang lebih karib dengan dunia digital dan internet.

Beberapa masyarakat generasi sekarang lebih mempercayai informasi dari lembaga seperti BPPTKG karena berbasis data dan bisa dan menggunakan teknologi canggih.

Rustiningsih Dian Puspitasari (20), seorang mahasiswi salah satu univeristas swasta di Yogyakarta, mengaku lebih memilih informasi dari BPPTKG soal aktivitas Merapi karena merupakan lembaga resmi pemerintah dan bisa dipercaya data-datanya.

"Kita realistis saja. Lebih memilih informasi di berita atau lembaga yang sudah menyediakan informasi itu karena mereka berbasis data," katanya.

Baca juga: BPBD Sleman Siapkan 4 Barak Pengungsian Gunung Merapi

Menurut Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, peralatan BPPTKG untuk melakukan pemantauan Gunung Merapi sangat lengkap.dok BBC Indonesia Menurut Kepala BPPTKG, Hanik Humaida, peralatan BPPTKG untuk melakukan pemantauan Gunung Merapi sangat lengkap.
Namun ada juga generasi muda yang menggabungkan kedua jenis informasi tersebut, Ismi Nadiyatul Fatikah (21), misalnya.

Menurutnya, dia akan melihat informasi dari lembaga seperti BPPTKG dan juga informasi dari Juru Kunci Merapi karena keduanya memiliki sudut pandang yang berbeda.

"Kalau saya dua-duanya harus dilihat, dari sudut pandang BPPTKG dan dari sudut pandang pandang leluhur kita," kata Ismi yang masih kuliah di salah satu kampus negeri di Yogyakarta.

Mayoritas kaum muda yang mengedepankan teknologi pun sepakat bahwa keberadaan Juru Kunci Merapi harus tetap dipertahankan sebagai pelestari yang menghidupkan kearifan lokal warga Merapi dan penjaga tradisi.

Baca juga: Status Tanggap Darurat Bencana Merapi di Sleman Diperpanjang hingga Akhir Desember

"Menurut saya pribadi masih penting, karena (Juru Kunci Merapi) salah satu warisan budaya dan leluhur kita masih mempercayai adanya juru kunci di gunung tertentu, jadi masih perlu," kata Ismi.

Meskipun begitu, ada pula yang berkata tidak semua orang percaya pada hal-hal mistis dan gaib yang lekat dengan predikat juru kunci.

"Lebih penting ke data yang berbasis teknologi dari pada juru kunci yang mungkin bagi orang basisnya mistis atau hal gaib. Kalau bicara secara keilmuan bisa dibuktikan dengan bukti dan data serta ada alat untuk mengukur apakah statusnya naik atau turun."

Baca juga: Pengungsi Merapi Kebanyakan Lansia dan Anak, Bilik Ayah Bunda di Pengungsian Dipertanyakan

"Kalau juru kunci ini kan kayak kita percaya dan nggak percaya," kata Katarina Widhi Arneta Sari, mahasiswi kampus swasta di Yogyakarta.

Bagaimana tanggapan Asih? Disamakan dengan paranormal atau dukun, Asih hanya tersenyum. Tugas Juru Kunci Merapi, bagi Asih sejatinya adalah sebagai pelestari kearifan lokal warga lereng Merapi serta penjaga budaya tradisional dan kesenian.

"Mungkin ada spiritualnya, seperti Labuhan. Tapi Juru Kunci bukan paranormal, bukan dukun, dan juga bukan kiai," ujar Asih yang juga bekerja sebagai karyawan administrasi di Fakultas MIPA Universitas Islam Indonesia (UII).

Baca juga: Intensitas Kegempaan Gunung Merapi November 2-5 Kali Lebih Tinggi Dibanding Oktober

Penjaga pintu Merapi

Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa Putra, Juru Kunci Merapi tetap relevan.dok BBC Indonesia Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa Putra, Juru Kunci Merapi tetap relevan.
Menurut Guru Besar Antropologi Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Heddy Shri Ahimsa Putra, Juru Kunci Merapi berada dalam dua konteks: empirik dan non empirik.

Terlebih bagi masyarakat Yogyakarta yang tidak bisa melepaskan kepercayaan adanya sumbu imajiner dari Merapi, Tugu, Keraton, dan terus ke selatan sampai Laut Selatan.

"Jadi Juru Kunci itu penjaga pintu masuk," katanya. Melihat posisi Keraton Yogyakarta yang berada di tengah-tengah Gunung Merapi dan Laut Selatan, kata Heddy, maka perlu adanya penghubung yang disebut juru kunci.

Baca juga: Kawah Merapi dan Cerita Menegangkan Pendaki Bakat Setiawan alias Lahar

Sebagai penjaga pintu, lanjut Heddy, ketika terjadi sesuatu maka juru kunci bisa memberi tahu. Misalnya kalau gunung akan meletus, juru kunci bisa memberi informasi dan orang di sekitarnya bisa mengungsi.

"Jadi bukan hanya kegaiban, tapi ada fungsi jelas, memberikan informasi kepada masyarakat," kata Heddy.

Fungsi Juru Kunci sebagai pemberi informasi mungkin bisa tergantikan dengan adanya lembaga resmi pemerintahan yang menyajikan informasi tentang aktivitas Merapi, seperti BPPTKG atau lembaga lain.

Namun menurut Guru Besar yang juga menjabat Ketua Senat Fakultas Ilmu Budaya UGM ini, teknologi modern hanya menggantikan yang empirik, dan belum bisa menjangkau sesuatu yang gaib.

Baca juga: Cerita di Balik Video Kawah Gunung Merapi, Direkam Pendaki Pakai Ponsel, Tuai Pro Kontra

Dan di sinilah fungsi Juru Kunci Merapi tidak tergantikan. Dia masih diperlukan untuk memimpin ritual Labuhan.

"Selama masih ada Keraton, Labuhan tetap ada dan selama itu pula Juru Kunci Merapi tetap ada," kata Heddy.

"Siapa yang akan membimbing naik gunung, siapa yang akan menyelenggarakan Labuhan, bukan BPPTKG, tapi Juru Kunci Merapi," katanya.

Baca juga: Kondisi Terkini Gunung Merapi, Titik Longsoran Baru dan Intensitas Gempa Guguran

Sinergi juru kunci dan teknologi

Petugas dan warga memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi dari Pos Pengamatan Gunungapi Merapi Babadan, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/11/2020). Sejak status Gunung Merapi ditingkatkan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), Kamis (5/11/2020), sebanyak 1.831 jiwa yang tinggal di lereng Gunung Merapi mengungsi.KOMPAS.com / KRISTIANTO PURNOMO Petugas dan warga memantau perkembangan aktivitas Gunung Merapi dari Pos Pengamatan Gunungapi Merapi Babadan, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Senin (16/11/2020). Sejak status Gunung Merapi ditingkatkan dari Waspada (Level II) menjadi Siaga (Level III), Kamis (5/11/2020), sebanyak 1.831 jiwa yang tinggal di lereng Gunung Merapi mengungsi.
Bagi Hanik Humaida, peran juru kunci Merapi di saat situasi aktivitas Gunung Merapi yang terus meningkat sangat penting karena terkait dengan kearifan lokal warga sekitar Merapi.

Kolaborasi di antara keduanya, sebut dia, bisa membuahkan hasil lebih baik.

"Kolaborasi antara kearifan lokal dengan tekonolgi ini pasti memberikan hasil yang baik. Dan saat ini saya kira local wisdom itu sudah berkoordinasi baik dengan kami," kata Hanik.

Menurut Heddy, kolaborasi ini juga bisa memberikan hasil yang maksimal dan meminimalisir korban bencana.

"Sinergi untuk mitigasi bencana itu bagus, tapi soal Labuhan itu (Juru Kunci Merapi) tidak bisa tergantikan," kata Heddy.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com