“Mereka datang ke warung ini membeli kebutuhan sehari-hari. Sebagian warga bayarnya pakai sayuran seledri, sawi, cabai, dan lainnya. Ditukarnya dengan tahu, tempe, telur, bakso, terserah warga yang beli, butuhnya apa, ya saya layani,” kata Nurlaela kepada Kompas.com, Kamis (17/12/2020)
Kendati demikian, Nurlaela mengaku tidak merasa rugi. Karena cara barter sesungguhnya sama saja dengan pembelian menggunakan rupiah.
Setiap sayuran yang dibawa warga akan ditimbang terlebih dahulu. Bobotnya menentukan nilai rupiah yang dimiliki pembeli. Kemudian nilai rupiah tersebut dibelikan dengan barang yang dibutuhkan warga.
Justru dengan cara ini, kata Nurlaela, keuntungannya banyak. Pertama, kebutuhan sayurnya terpenuhi tanpa harus ke pasar.
Baca juga: Dedi Mulyadi: Harga Sayuran Jatuh, Petani Harus Diberi Perhatian Khusus
Kedua, sayuran yang didapat masih segar, yang terkadang bila beli di pasar sudah layu.
Ketiga, sistem seperti ini saling membantu antar warga terutama mereka yang memberdayakan lahannya untuk tanaman.
Merlin, salah satu tetangganya, membuktikan hal itu. Perempuan berusia 24 tahun ini membawa 2 kilogram sawi yang baru dipanen dari polybag. Sawi itu ditukarkan dengan dua buah mangkuk bakso.
“Bagi saya, tradisi barter sayur ini sangat bermanfaat. Ini membantu perekonomian warga di tengah kondisi pandemi Covid-19 yang melanda seluruh Indonesia. Yang apa-apa serba susah,” kata Merlin.
Sukmana menyampaikan, Desa Nangka kerap kali menjadi desa percontohan dalam dan luar daerah Kuningan.
Semangat menanam warga membawakan hasil panen yang melimpah. Di saat sebagian warga terpuruk, desa ini justru dapat bangkit sebagai Desa Agrobisnis.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.