Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Supardi Bangun Sekolah di Daerah Terpencil, Iuran Seikhlasnya dan Terima Hasil Bumi

Kompas.com - 19/12/2020, 07:38 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Sulit mengakses pendidikan menjadi hal biasa bagi warga Kampung Nangela, Ciapus, dan Pasir Erih, Desa Nanggala, Kecamatan Cikeusik, Kabupaten Pandeglang, Banten.

Dari kampungnya, untuk menuju SD negeri terdekat warga harus menempuh perjalanan tiga kilometer.

Jalanan berbatu dan tanah itu hanya bisa dilalui kendaraan roda empat pada musim kemarau. Saat hujan seperti sekarang, jalan hanya bisa dilalui roda dua. Itu pun dengan susah payah.

Tak heran jika warga yang bersekolah di kampung tersebut tidak banyak. Hal itulah yang membuat Supardi (40) dan adiknya mendirikan Madrasah Ibtidaiyah (MI) Nurul Athfal.

“Saya dari luar kampung, pindah ke Nangela. Saya melihat potensi di sana banyak tapi sangat sulit ke sekolah,” ujar Supardi (40) mengawali perbincangannya dengan Kompas.com, Jumat (18/12/2020).

Baca juga: Di Salatiga, 20 Guru Terpapar Covid-19, Sekolah Tatap Muka Dikaji Ulang

Ia kemudian bermusyawarah dengan warga setempat hingga terbentuklah madrasah diniyah non formal tahun 2006.

Dua tahun berlalu, lulusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) Universitas Pasundan (Unpas) Bandung ini pun mendaftarkan madrasah sebagai pendidikan formal.

Setelah menjadi MI tahun 2008, warga membangun kelas alakadarnya dari bambu. Baru satu tahun kemudian mereka mengajukan bantuan ke Kementerian Agama untuk sarana kelas.

“Tahun 2011 dapat 2 bangunan lokal (kelas) dari Kemenag, bangunan semi permanen,” tutur dia.

Lama kelamaan, bangunan mulai lapuk dan hampir ambruk. Jumlah siswa yang terus bertambah pun sulit ditampung.

“Kami punya 84 siswa. Ada yang belajar di emper-emper sekolah karena kelas nggak cukup,” tutur dia.

Sebagian siswa akhirnya mundur karena ingin mendapatkan pendidikan yang lebih layak. Saat ini, yang bertahan sebanyak 75 siswa dari 3 kampung tersebut.

Honor guru

Bangunan yang terbatas, banyaknya siswa, dan jumlah guru yang terbatas, membuat Supardi sempat memberlakukan sejumlah kebijakan.

Awalnya ia memberlakukan sif, namun tidak berhasil karena jumlah guru minim. Hingga akhirnya kelas digabungkan.

“Akhirnya digabungin, jam ini kelas ini, jam ini kelas itu. Untuk kelasnya diakalin saja,” ucap Supardi.

Karena keterbatasan SDM, awalnya guru di MI itu tamatan SMA sebanyak 6 orang. Pelan-pelan MI menarik guru sarjana untuk menyesuaikan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

Saat ini, MI tersebut memiliki 5 orang guru sarjana dan dibantu lulusan SMA 3 orang. Guru-guru tersebut berasal dari luar kampung.

Sebab lulusan MI sendiri, baru dua tahun ke belakang ada yang melanjutkan ke SMP. Sebelumnya tidak ada karena lokasinya yang jauh dan sulitnya ekonomi.

“Warga sini rata-rata buruh tani. Sulit untuk mereka menyekolahkan anaknya. Jarak SMP terdekat 3 kilometer dengan akses jalan yang tidak baik,” kata dia.

Kecilnya pendapatan warga pula yang membuat MI ini tidak memberikan tarif SPP. Warga bisa memberikan infak seikhlasnya setiap akhir tahun pendidikan.

Infak yang diberikan tak hanya sekadar uang. Ada pula warga yang memberikan hasil bumi sebagai infak.

“Untuk honor guru disisihkan dari dana Bantuan Operasional sekolah (BOS), sebulan sekitar Rp 270.000,” tutur dia.

Beberapa waktu lalu, pihaknya dikontak Angkasa Pura II dan Laznas Daarut Tauhid (DT) untuk bantuan ruang kelas.

“Kami memberikan bantuan 3 ruang kelas, 1 ruang guru, dan 1 toilet madrasah. Teknisnya diserahkan kepada mitra kami DT,” tutur Direktur Keuangan PT AP II, Wiweko Probojakti.

Baca juga: Sekolah Tatap Muka di Riau pada Januari 2021 Masih Butuh Penyempurnaan

Direktur Utama Laznas Daarut Tauhid Peduli, M Bascharul Asana mengatakan, pembangunan menghabiskan anggaran Rp 328,7 juta.

“Bangunan tersebut sudah diresmikan baru-baru ini,” ungkap Bascharul.

Kebutuhan

Meski sudah memiliki bangunan baru, Supardi mengatakan, sekolahnya masih membutuhkan berbagai perlengkapan. Seperti meja dan kursi untuk siswa serta guru, papan tulis, paping blok halaman madrasah, dan pagar tembok depan madrasah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com