Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kucing Merah Langka Pertama Kali Tertangkap Kamera di Hutan Kalimantan

Kompas.com - 16/12/2020, 06:55 WIB
Zakarias Demon Daton,
Khairina

Tim Redaksi

“Sejauh ini masih di Sungai Wain. Hutan lain di Mahakam Ulu, Kutai Barat belum ditemukan,” tambah dia.

Karena sulit mendapat satwa ini, kata Rustam, belum ada satu pun peneliti yang meneliti populasi spesies ini di Kaltim.

Namun, menurut IUCN total populasi kucing merah yang tersebar di Pulau Kalimantan dan Malaysia (Sabah dan Sarawak) berjumlah 2.220 untuk usia dewasa.

Saat ini jumlah populasinya disebutkan terus mengalami penurunan.

Nama kucing merah juga tak begitu populer bagi sebagian masyarakat adat dayak di Kaltim.

Sekretaris Adat Desa Tukul, Kutai Barat, Avun mengaku tak tahu satwa endemik Kalimantan ini.

“Tidak tahu,” katanya singkat.

Baca juga: LIPI: Bulus yang Ditemukan di Sungai Ciliwung Bukan Hewan Langka

Selain belum pernah melihat, cerita rakyat atau dongeng perihal kucing merah juga tak ada.

Hutan primer Sungai Wain tersisa 30 persen ancaman bagi satwa langka

Kepala UPTD Sungai Wain, Dinas Kehutanan Kaltim, Zulkifli mengaku baru mengetahui kucing merah ada di hutan Sungai Wain saat dikonfirmasi media ini.

Selama bertugas, dirinya dan tim belum pernah mendapati ataupun mendengar laporan warga sekitar perihal kucing liar itu. Oleh karena itu, Zulkifli tak tahu banyak soal kucing merah.

“Saya baru tahu ini. Tapi prinsipnya kami terus menjaga Sungai Wain agar satwa yang hidup di dalamnya tidak terancam termasuk kucing merah itu,” ungkap Zulkifli saat ditemui Kompas.com di Samarinda.

Luas Sungai Wain 11.246 hektar, terbagi dalam beberapa tipe hutan, rawa-rawa, sisi sungai, dataran rendah serta hutan perbukitan yang kering. Tipe hutan terakhir ini merupakan habibat kucing merah.

Jauh sebelumnya Sungai Wain terkenal dengan tutup hutannya yang utuh karena kayu ulin, bangkirai, gaharu dan ratusan jenis kayu lainnya yang tumbuh di kawasan itu.

Di situ juga hidup banyak satwa terlindungi seperti macan dahan, beruang madu, orangutan, rusa dan ribuan jenis burung termasuk kucing merah, satwa endemik Kalimantan.

Data unit pelaksana badan pengelola (UPBP) kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) tahun 2010, ada 124 famili flora, 287 jenis burung dan 451 jenis pohon yang hidup di Sungai Wain.

“Tapi saat ini tersisa sekitar 30 persen yang masih virgin (primer). Sisanya hutan sekunder bekas kebakaran, perambahan zaman dulu dan lain-lain,” terang Zulfikar.

Ancaman terbesar bagi satwa yang hidup di Sungai Wain, kata Zulfikar, karena deforestasi dan perburuan.

“Kami patroli kadang ketemu mereka (pemburu). Kami amankan mereka beri pemahaman agar tak diburu lagi binatang dalam hutan itu,” tegas dia.

Ancaman deforestasi seperti kebakaran hutan, perambahan juga cukup serius juga tekanan kota.

Pada 1993, cabang Dinas Kehutanan (CDK) Kota Balikpapan mengusulkan kawasan hutan yang telah dirambah sekitar 500 meter dari jalan Balikpapan- Samarinda dikeluarkan dari kawasan hutan.

Ancaman okupasi lahan kosong juga marak terjadi di sekitar hutan Sungai Wain, usai Presiden Joko Widodo menetapkan ibu kota negara pindah ke Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU). Hutan Sungai Wain berdekatan dengan lokasi ibu kota negara yang ditunjuk Jokowi.

“Banyak klaim hak milik. Padahal hutan itu kan punya buffer zone juga. Itu yang perlu kita jaga,” terang dia.

Ancaman lain seperti ilegal logging dan pertambangan batu bara ilegal sudah berkurang bahkan tak ditemukan lagi.

Secara administrasi, hutan Sungai Wain bersisian dengan Kelurahan Karang Joang, Kota Balikpapan.

Namun, tidak ada komunitas masyarakat di sekitar Sungai Wain yang konsen dengan satwa tertentu di Sungai Wain.

“Yang ada adalah forest guard (penjaga hutan) yang berasal dari masyarakat lokal,” kata Rustam.

Zulkifli mengatakan, pihaknya bekerja sama dengan Yayasan Pro Natura untuk pengamanan habibat Sungai Wain.

Manager Pro Natura Agusdin mengatakan, yayasan yang dikelola konsen dengan konservasi keseluruhan Sungai Wain, tidak fokus pada spesies satwa tertentu.

“Kami mengajak masyarakat di sekitar hutan untuk terlibat dalam kegiatan kami,” tutur dia.

Visi kegiatannya meliputi penjagaan hutan, konservasi dan kegiatan pengamanan dengan patroli hutan.

“Belum ada komunitas masyarakat khusus yang konsen dengan satwa tertentu. Tapi penjagaan habibat secara umum di Sungai Wain ada, seperti kami,” terang dia.

BKSDA Kaltim sebut tak punya kewenangan di luar kawasan konservasi

Kepala Seksi Konservasi Wilayah III, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kaltim, Suriawati Halim menyebut pihaknya tak punya kewenangan mengurusi satwa di luar kawasan konservasi, seperti hutan Sungai Wain.

“Kewenangan kami hanya dalam kawasan konservasi. Sungai Wain bukan kawasan konservasi, tapi kami punya kewenangan mengurusi satwa di dalamnya,” ungkap Suriawati.

Karena itu dia mengaku suka koordinasi dengan UPTD Sungai Wain perihal penyelamatan satwa langkah yang ada di dalam hutan tersebut.

Menurutnya pengelolaan hutan Sungai Wain saat ini berjalan baik. Karena itu habibat satwa pun akan baik.

“Jadi dengan pengelolan kawasan dengan baik itu sudah membantu pelestarian semua satwa yang ada di sana, tak hanya kucing merah, tapi semua,” jelas dia.

Baca juga: Nasib Buah Kecapi, Dulu Favorit, Kini Langka dan Tak Diminati

Peneliti mamalia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Gono Semiadi mengatakan, tantangan mengurusi satwa selama ini berada di luar kawasan konservasi. Sebab BKSDA punya kewenangan terbatas.

“Tetap kita perlukan kelompok pemerhati satwa. Biar jadi penyimbang. Ketika satwa ada di luar kawasan konservasi ya masyarakat,” ungkap Gono saat dihubungi Kompas.com.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com