Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Theresia Mina, 40 Tahun Menenun Kain Congkar, demi Melestarikan Warisan Leluhur

Kompas.com - 11/12/2020, 12:08 WIB
Markus Makur,
Robertus Belarminus

Tim Redaksi

RANAKULAN, KOMPAS.com - Sejak usia usia 17 tahun, Theresia Mina (57), perempuan asal Kampung Golotawa, Desa Ranakulan, Kecamatan Elar, Kabupaten Manggarai Timur, NTT, sudah bisa menenun kain tenun motif Congkar.

Theresia tertarik menenun kain tenun Congkar untuk melanjutkan warisan leluhur di kampungnya.

Sebenarnya, ibu dari Theresia berasal dari Kampung Sisir, Desa Compang Sisir, Kecamatan Elar.

Namun, ibunya menikah dengan ayahnya Petrus Ngao, yang kemudian menetap di Kampung Golotawa.

Selain melestarikan warisan leluhur, bakatnya menenun kain songke khas Congkar terus dilakukan untuk menafkahi keluarga.

Baca juga: Berkunjung ke Bangka Belitung, Istri Menteri Desa Diperkenalkan Kain Tenun Cual

Uang hasil jual tenun diperuntukkan untuk membiayai sekolah 3 orang anak.

 

Tak terhitung jumlah kain tenun yang sudah dibuatnya, baik selama masih gadis maupun sesudah berkeluarga.

Theresia menjadi penenun setelah diajari Rosalia Tima, seorang tetangga di kampungnya.

“Mama Tima melatih saya pertama kali untuk menenun," kata Theresia, Kamis (3/12/2020).

Dari situ ia belajar mengenal benang, sebuah proses awal untuk mulai menenun. Kemudian, ia dilatih untuk memasang alat-alat tenun.

"Perlahan-lahan saya bisa. Saat itu, tidak pakai teori dalam menenun, melainkan langsung mempraktikkan cara menenun,” ujar dia.

Rosalia Tima terus mengawasi Theresia yang sudah bisa menenun sendirian.

“Setelah saya dinyatakan mahir menenun oleh Mama Tima, saya dedang atau menenun kain khas Congkar di rumah orangtua di Kampung Sisir. Saat itu masih muda. Belum menikah sudah bisa menghasilkan uang, walaupun tak seberapa hasilnya. Yang terpenting warisan leluhur di kampung itu bisa dipertahankan,” tutur dia.

Bakat itu, kata Theresia, dilanjutkannya sesudah menikah. Saat hidup berkeluarga, hasil karya tangan dengan menenun menambahkan penghasilan, selain dari bertani.

 

Memang, bagi seorang perempuan di desanya, menenun adalah pekerjaan tambahan atau sampingan selain pekerjaan pokok bertani lahan sawah dan lahan kering.

Selain menenun, pendapatan keluarga Theresia bersumber dari jual kemiri, ternak babi dan kini tanaman porang.

 

Biasanya Theresia membuat kain tenun yang dipesan tetangga kampung, untuk keperluan ritual adat, saat acara perkawinan.

Jika tidak ada pesanan tenun, ia kembali bertani besama suami.

Satu lembar kain Congkar dijual dengan harga Rp 500.000. Modal awal yakni Rp 200.000 untuk membeli bahan benang. Sehingga ia memperoleh keuntungan Rp 300.000.

Ketika masih muda, Theresia, bisa menghasilkan dua lembar kain Congkar dalam sebulan.

Namun, di usianya kini, ia hanya bisa menghasilkan satu lembar kain tenun sebulan.

“Kendala saya saat ini di mata. Mata tidak terang lagi untuk melihat benang ketika menitinya. Untuk itu, saya tidak menenunnya saat malam hari,” kata dia.

Latih tetangga

Warisan budaya orang Congkar harus terus dilestarikan oleh kaum perempuan.

Untuk itu Theresia melatih kaum perempuan di tetangga kampung. Alhasil, perempuan di kampung itu yang sudah bisa menenun.

Baca juga: Makna Tersembunyi di Balik Tenun Cual, Kekayaan Tradisi sejak Zaman Belanda

Theresia menambahkan, dirinya bersama 4 kaum perempuan lainnya membentuk kelompok tenun perempuan. Namanya, Kelompok Tenun Golotawa (bukit tertawa).

“Kami berlima ada dalam satu kelompok tenun perempuan untuk mempertahankan warisan budaya orang Manggarai Timur, khususnya budaya Congkar,” ujar dia.

Menenun di tengah pandemi Covid-19

Di saat pembatasan berskala besar di desa karena virus corona, Theresia terus menekuni talenta menenun yang dimilikinya.

“Saya masih dedang di saat pandemi Covid-19 untuk menghasilkan uang bagi keperluan keluarga. Saat itu, hasil bumi tidak bisa dijual di pasar karena pasar tutup. Bersyukur ada keluarga di kampung yang memesan kain tenun,” ujar dia.

Saat pandemi Covid-19, Kelompok Tenun Golotawa mendapatkan bantuan dari Koperasi Pemodalan Nasional Mandiri (PNM) senilai Rp 2.400.000 per orang.

 

Koperasi ini khusus untuk kaum perempuan. Selain itu, kelompok ini juga mendapatkan bantuan benang dari Pemerintah Daerah Kabupaten Manggarai Timur.

“Selama kami menenun, belum pernah ada pelatihan dari pemerintah. Pemerintah hanya beri bantuan benang,” ujar dia.

Baca juga: Berburu Tenun Cual Kuno, Mengunci Sejarah, Merawat Tradisi

Kaum perempuan di desa juga sebagai penopang pendapatan ekonomi keluarga melalui kerajinan-kerajinan yang dimiliki secara alamiah.

Bakat alamiah dilatih sejak usia gadis. Untuk diketahui, Desa Ranakulan yang berbatasan dengan Kecamatan Sambirampas sebagai pusat kerajinan kain tenun Congkar.

Kabupaten Manggarai Timur, Nusa Tenggara Timur, memiliki beberapa motif kain songke.

Ada motif Lambaleda, Congkar, Rembong. Masing-masing motif memiliki nilai sejarahnya.

Motif-motif itu sesuai dengan sejarah kedaluan atau hamente saat belum merdeka.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com