Biasanya Theresia membuat kain tenun yang dipesan tetangga kampung, untuk keperluan ritual adat, saat acara perkawinan.
Jika tidak ada pesanan tenun, ia kembali bertani besama suami.
Satu lembar kain Congkar dijual dengan harga Rp 500.000. Modal awal yakni Rp 200.000 untuk membeli bahan benang. Sehingga ia memperoleh keuntungan Rp 300.000.
Ketika masih muda, Theresia, bisa menghasilkan dua lembar kain Congkar dalam sebulan.
Namun, di usianya kini, ia hanya bisa menghasilkan satu lembar kain tenun sebulan.
“Kendala saya saat ini di mata. Mata tidak terang lagi untuk melihat benang ketika menitinya. Untuk itu, saya tidak menenunnya saat malam hari,” kata dia.
Warisan budaya orang Congkar harus terus dilestarikan oleh kaum perempuan.
Untuk itu Theresia melatih kaum perempuan di tetangga kampung. Alhasil, perempuan di kampung itu yang sudah bisa menenun.
Baca juga: Makna Tersembunyi di Balik Tenun Cual, Kekayaan Tradisi sejak Zaman Belanda
Theresia menambahkan, dirinya bersama 4 kaum perempuan lainnya membentuk kelompok tenun perempuan. Namanya, Kelompok Tenun Golotawa (bukit tertawa).
“Kami berlima ada dalam satu kelompok tenun perempuan untuk mempertahankan warisan budaya orang Manggarai Timur, khususnya budaya Congkar,” ujar dia.
Di saat pembatasan berskala besar di desa karena virus corona, Theresia terus menekuni talenta menenun yang dimilikinya.
“Saya masih dedang di saat pandemi Covid-19 untuk menghasilkan uang bagi keperluan keluarga. Saat itu, hasil bumi tidak bisa dijual di pasar karena pasar tutup. Bersyukur ada keluarga di kampung yang memesan kain tenun,” ujar dia.
Saat pandemi Covid-19, Kelompok Tenun Golotawa mendapatkan bantuan dari Koperasi Pemodalan Nasional Mandiri (PNM) senilai Rp 2.400.000 per orang.