"Dia layak karena kematangannya selama lima tahun berada di DPRD provinsi. Selaku istri bupati, dia juga bisa tahu mekanisme pemeritahan selama ini," ujar Neo.
Neo pun berusaha menyanggah sejumlah isu, dari soal 'perempuan tidak pantas menjadi pemimpin Buru Selatan' sampai politik dinasti yang berpotensi muncul di kabupaten itu.
Baca juga: Akses Menuju Buru Selatan Ditutup Sementara, Ini Alasan Bupati
"Dari sisi masyarakat dan adat, (masalah) perempuan jadi pemimpin itu omong kosong. Yang bisa dibatasi hanya posisi raja dan imam, tapi kalau pemerintahaan, kenapa harus dibatasi? Tidak ada batasan, tidak ada masalah," kata Neo.
Sementara soal dugaan politik dinasti, dia berkata, "suami memberikan kisi-kisi kepada istrinya tentang arah pembangunan, lobinya seperti apa, bagaimana meraih kesuksesan. Masalah dinasti sampai sekarang tidak dipermasalahkan," tuturnya.
Baca juga: KPK Periksa Bupati Buru Selatan Tagop Sudarsono Soulissa
Bagaimanapun, menurut dosen ilmu politik di Universitas Pattimura, Said Lestaluhu, partisipasi istri kepala daerah di pilkada memiliki basis hukum yang sah. Namun dia menilai tren itu sebagai upaya mempertahankan kekuasaan.
Said menyalahkan rekrutmen calon pemimpin via partai politik yang berbiaya mahal. Walau setiap orang berhak maju menjadi kepala daerah, kata dia, hanya yang memiliki modal besar yang akan muncul di surat suara.
"Memang ada kejenuhan di masyarakat melihat pola rekrutmen parpol dieksploitasi para petahana, terutama yang berkuasa dengan modal sosial, ekonomi, dan politik untuk mempertahankan kekuasaan," ujar Said.
Baca juga: 62 Kades di Jateng Langgar Netralitas Pilkada, Bawaslu Lapor ke Mendagri
Merujuk penelitian Nagara Institute, sebuah lembaga kajian politik di Jakarta, terdapat 124 calon kepala daerah yang terafiliasi dengan dinasti politik pada pilkada 2020.
Dari angka itu, 67 merupakan laki-laki dan 57 perempuan.
Setidaknya 29 dari 57 peserta pilkada perempuan itu merupakan istri kepala daerah yang masih atau pernah menjabat.
Mahkamah Konstitusi lewat putusannya tahun 2015 menyatakan dinasti politik tidak haram. Setelah putusan itu dibuat, menurut perhitungan Nagara Institute, kandidat dengan rekam jejak dinasti politik terus meningkat setiap tahun.
Baca juga: Lewat KIM, Kominfo Manfaatkan Karang Taruna dan PKK Desa untuk Menyebarkan Informasi Pilkada
Tahun 2000 hingga 2010 kabupaten itu dipimpin Obar Sobarna. Satu dekade berikutnya, menantu Obar, Dadang Naser, yang menjadi bupati.
Pada 9 Desember nanti, istri Dadang, Kurnia Agustina, maju menjadi calon bupati Bandung. Kurnia adalah putri kandung Obar Sobarna.
Hubungan personal Kurnia dengan dua bupati sebelumnya itu dianggap Edieth Carolina, warga Bandung, keunggulan yang tak dimiliki dua kandidat lainnya.
Baca juga: LSI Denny JA Rilis Hasil Survei Pilkada Kabupaten Bandung, Dadang-Sahrul Unggul
Dia akan mencoblos Kurnia karena yakin politikus Golkar itu akan melanjutkan pemerintahan terdahulu yang dia anggap sukses.
"Dari Pak Obar, terus turun lagi ke Pak Dadang, terus bisa diteruskan Ibu Nia. Yang sudah saya rasakan, khususnya di Rancaekek Kencana, pembangunan maju, bagus, pesat.
"Mudah-mudahan yang belum terlaksana di pemerintahan sebelumnya bisa terlaksana di periode Ibu Nia," kata Edieth.
Namun kekerabatan itu juga yang membuat pemilih bernama Leni Sudarlina berharap Kurnia kalah.
Baca juga: Maju Pilkada Kabupaten Bandung, Eks Bintang Persib Atep Rizal Sebut Sahrul Gunawan Lawan Berat
"Kita bukan negara kerajaan. Ini kan demokrasi, minimal jangan dari keluarga itu-itu terus," kata Leni.
Ayah dan suami Kurnia diklaim tak merestui langkahnya menjadi calon bupati Bandung. Ini dikatakan Cecep Suhendar, ketua tim pemenangan Kurnia dalam pilkada ini.