Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kasus Pernikahan Anak Tinggi Akibat Pandemi Covid-19

Kompas.com - 01/12/2020, 21:25 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.comPandemi Covid-19 berdampak pada peningkatan kasus pernikahan anak di Indonesia.

“Tingginya angka perkawinan anak disebabkan meningkatnya angka putus sekolah,” ujar pendiri dan peneliti Yayasan Kesehatan Perempuan (YKP) Atashendartini Habsjah dalam Peringatan Hari HIV Sedunia yang digelar virtual, Selasa (1/12/2020).

Atashendartini menjelaskan, pada Januari-Juni 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia menerima 34.000-an permohonan dispensasi nikah dari pasangan calon mempelai yang belum berusia 19 tahun.

Komisioner KPAI pun menemukan anak-anak yang putus sekolah selama pandemi Covid-19 di banyak wilayah seperti Kabupaten Wonogiri, Jepara, Bandung, Kota Bengkulu, Lombok Utara, Lombok Timur, dan Bima.

“Di masa pandemi, nasib perempuan dan anak perempuan dipertaruhkan,” tutur dia.

Baca juga: Angka Pernikahan Anak di Jateng Naik Jadi 8.338 Kasus

Sementara itu, Konselor Kesehatan Produksi KTP PKBI & LBH APIK Yogyakarta, Budi Wahyuni mengungkapkan, maraknya pernikahan anak tidak bisa dianggap sederhana.

“Karena artinya, estafet ketidaksiapan tubuh perempuan telah dimulai,” ucap dia.

Maraknya pernikahan anak, sambung Budi, adalah gambaran dari pelanggaran Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR). Khususnya hak informasi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas yang seringkali terlanggar.

Dewi mengungkapkan, banyak mitos terkait seksualitas dan kesehatan reproduksi yang lebih dipercaya dibanding pengetahuan yang sesungguhnya.

“Bingkai budaya patriarkhi yang menjadi akar terbangunnya relasi kuasa yang timpang, seolah melengkapi nasib perempuan dalam kehidupannya,” tutur dia.

Akibatnya, perempuan tidak akan pernah merasa aman karena organ reproduksi dan seksual yang sudah ada dan dimiliki sejak dalam kandungan ibunya, tumbuh dan berkembang sepanjang usia reproduksinya.

Berfungsi sejak menstruasi hingga menopause serta berhenti di akhir hayatnya. Otonomi perempuan terhadap tubuhnya ini seolah tidak tersisa.

Perempuan mempertaruhkan tubuhnya untuk merajut harapan yang dapat dipastikan sebatas impian, karena perempuan justru mengalami kesakitan dan kematian karena organ reproduksinya.

Budi menilai, karena HKRS adalah hak dasar setiap warga, ia mendesak negara lebih terbuka pada berbagai informasi.

Termasuk perkembangan teknologi tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas dengan menjadikan pendidikan seksualitas dan kesehatan reproduksi bagian dari kurikulum di sekolah formal maupun non formal.

“Setiap WNI berhak menjalani kehidupan tanpa kekerasan dalam bentuk apa pun,” tegas dia.

Baca juga: Pernikahan Anak Saat Pandemi, Istri Usia 14 Tahun ALami KDRT hingga Orang Tua Ingin Putrinya Kembali Sekolah

Selain itu, mengingat kerusakan organ reproduksi perempuan yang berujung pada kesakitan dan kematian lebih banyak disebabkan perilaku seksual pasangannya, pihaknya mendesak negara untuk memastikan berbagai kebijakan yang terkait dengan keselamatan organ reproduksi dan seksualitas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dan tidak standar ganda.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com