Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Oktavia dan 8 Guru Honorer di Pedalaman NTT, 6 Tahun Tak Digaji, Tiap Hari Menyusuri Hutan

Kompas.com - 26/11/2020, 12:00 WIB
Nansianus Taris,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

MAUMERE, KOMPAS.com - Nasib guru honorer di Indonesia khususnya di Kabupaten Sikka, NTT, masih jauh dari kata sejahtera.

Seperti yang dialami Oktavia (45), seorang guru honorer yang mengabdi di Pendidikan Layanan Khusus (PLK) Cerdas Anak Bangsa Wairbukan, Desa Wairterang, Kecamatan Waigete, Kabupaten Sikka.

Selama 10 tahun mengabdi, baru tiga tahun dia mendapat honor yang bersumber dari dana bantuan operasional sekolah (BOS).

Baca juga: Guru Honorer yang Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar Dapat Sepeda dari Walkot Samarinda

 

Besaran upah yang diterima begitu kecil. Oktavia dan delapan guru lainnya mendapat honor sebesar Rp 150.000 per bulan.

“Kami di sini ada delapan orang guru, honorer semua. Sejak tahun 2010 sampai 2016, kami mengabdi tanpa upah,” ungkap Oktavia kepada Kompas.com melalui sambungan telepon, Kamis (26/11/2020).

Sejak 2010 hingga 2016, PLK Wairbukan belum memiliki dana apa pun, selain bantuan untuk perlengakapan sekolah para siswa.

“Jika ada sisa dari dana beli sepatu dan buku anak-anak, kami bisa bagi-bagi untuk beli sabun. Itu saja. Selama enam tahun kami begitu saja,” kata Oktavia.

Baca juga: Kisah Khamdan, Terpilih Jadi Guru Inovatif meski Mengajar di Pedalaman NTT Tanpa Listrik dan Sinyal

Oktavia menuturkan, meski selama enam tahun mengabdi tanpa upah, dia dan kawan-kawanya tidak pernah menyerah atau pun putus asa. Mereka tetap semangat mendidik para siswa di PLK Wairbukan.

“Semangat kami satu saja, yakni mencerdaskan anak bangsa. Kalau bukan kami siapa lagi? Memang susah mencari orang yang rela bekerja tanpa upah. Tetapi itu tadi, mau harap siapa lagi, kami harus tetap mengabdi,” tutur Oktavia.

Oktavia mengatakan, untuk memenuhi kebutuhan keluarga, dia dan guru lainnya terpaksa berkerja di kebun. Jika tidak, keluarga bisa mati kelaparan.

Setiap pulang sekolah para guru harus mencari pekerjaan tambahan agar bisa menopang hidup keluarga.

2017 mendapat upah 

Para guru di PLK Wairbukan baru mendapat sedikit upah mulai tahun 2017.

Di tahun itu, PLK Wairbukan sudah mendapatkan dana BOS. Besaran dana BOS juga kecil disebabkan jumlah siswa yang sangat sedikit.

“Dari dana BOS yang ada, kami bagi-bagi dari beberapa persen. Kami sembilan orang dapat Rp 150.000 per bulan. Itu mulai dari tahun 2017 sampai sekarang. Biar kecil yang penting ada,” ungkap Oktavia.

Di PLK hanya ada dana BOS, tidak ada sumber dana lain seperti uang komite di sekolah pada umumnya. Di sekolah itu memang tidak diizinkan untuk memungut dana dari masyarakat.

Menyusuri hutan dan menyeberangi sungai

PLK Wairbukan terletak di kawan hutan lindung Egon Ilimedo. Setiap hari, dia dan guru lainya harus berjalan kaki menyusuri jalan tanah yang sempit di kawasan hutan lindung menuju sekolah.

Kontur mendaki membuat mereka berpeluh keringat. Mereka berjalan kaki sekitar 2 kilometer setiap harinya untuk bisa sampai di lokasi sekolah.

Di hutan itu juga ada kali yang harus diseberangi.

“Kalau hujan deras, kami lihat dulu arus kali. Kalau tidak bisa berarti berhenti dan balik lagi ke rumah. Kadang kami tunggu air surut baru lanjut. Kalau kami tidak ke sekolah saat hujan, anak-anak dan orangtua mengerti juga,” ungkap Oktavia.

“Tidak hanya kendala di kali, jalan tanah juga licin. Terkadang kami sering jatuh karena tanah licin. Kalau musim hujan setengah mati,” sambung Oktavia.

Oktavia berharap, pemerintah bisa memikirkan kebijakan khusus untuk memperhatikan nasib guru honorer di pendidikan layanan khusus (PLK).

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com