Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sempat Masuk ke Permukiman Warga, Orangutan Tapanuli Dilepasliarkan ke Habitatnya

Kompas.com - 26/11/2020, 11:33 WIB
Rachmawati

Editor

KOMPAS.com - Seekor orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) yang sempat masuk ke permukiman warga akhirnya diselamatkan dan kemudian dilepasliarkan ke habitatnya.

Pelepasliaran orangutan tapanuli dilakukan di kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok, Senin (23/11/2020).

Menurut Kepala Bidang Teknis BBKSDA Sumut Irzal Azhar, orangutan tapanuli itu sebelumnya sempat masuk ke permukiman warga di Dusun Padang Bulan, Desa Marsada, Kecamatan Marsada, Kabupaten Tapanuli Selatan.

Ia mengatakan, orangutan tersebut sempat dibius karena lokasi penemuannya jauh dari hutan.

Baca juga: 5 Orangutan Dilepasliarkan di Taman Nasional Bukit Baka Bukit Raya Kalbar

“Laporan dari masyarakat bahwa ada orangutan tapanuli yang turun ke perkampungan sudah empat hari. Berdasarkan laporan masyarakat tersebut, kami bergerak ke lokasi, kemudian mengevakuasi orangutan itu. Karena sangat jauh dari lokasi hutan (habitatnya), kami terpaksa membiusnya,” kata Irzal dilansir dari VOA Indonesia, Selasa (24/11/2020).

Sebelum dilepasliarkan, kata Irzal, orangutan tapanuli tersebut menjalani pemeriksaan kesehatan.

Hasil pemeriksaan menunjukkan, orangutan tapanuli itu diperkirakan berusia 35 tahun dengan berat 63 kilogram dan dalam kondisi sehat sehingga layak dilepasliarkan.

“Kemudian dari situ kami bawa ke Cagar Alam Dolok Sipirok yang merupakan habitat dari orangutan tapanuli itu,” ungkapnya.

Baca juga: Telantar Saat Pisah dengan Induknya, Bayi Orangutan Dievakuasi Warga

Spesies paling langka di dunia

Orangutan Tapanuli saat dievakuasi dari permukiman warga di Dusun Padang Bulan, Desa Marsada, Kecamatan Marsada, Kabupaten Tapanuli Selatan, SumutBBKSDA Sumut Orangutan Tapanuli saat dievakuasi dari permukiman warga di Dusun Padang Bulan, Desa Marsada, Kecamatan Marsada, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumut
Orangutan tapanuli yang merupakan spesies orangutan paling langka di dunia.

Di kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok, orangutan tapanuli kerap masuk ke perkampungan warga terutama saat musim buah.

Habitat orangutan tapanuli yang berbatasan dengan perkebunan warga disinyalir menjadi penyebab spesies paling langka itu sering masuk ke permukiman masyarakat.

“Pelepasliaran orangutan tapanuli sudah sering, karena mereka kerap masuk ke perkampungan terutama pada musim buah, dan masuk ke kebun masyarakat. Kadang-kadang menghalau agar mereka kembali ke habitatnya."

Baca juga: BKSDA Kalbar dan IARI Translokasi Orangutan ke Hutan Rawa Gambut Ketapang

"Kalau yang sudah jauh dari habitatnya terpaksa kami evakuasi dengan pembiusan. Kemudian kami bawa ke habitat aslinya,” jelas Irzal.

Sementara itu Panut Hadisiswoyo, pendiri Yayasan Orangutan Sumatera Lestari menuturkan ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam translokasi orangutan tapanuli.

"Dengan kondisi hutan yang terdapat sumber makanan memadai, tidak ada fragmentasi habitat, itu syarat untuk kita translokasi," tutur Panut kepada VOA Indonesia.

Masih kata Panut, dipilihnya Cagar Alam Dolok Sipirok sebagai lokasi dilepasliarkannya orangutan tapanuli karena primata besar tersebut diperkirakan berasal dari wilayah itu.

"Diperkirakan orangutan tapanuli itu berasal dari Cagar Alam Dolok Sipirok, sehingga kami lepaskan ke situ. Memang habitatnya sudah kami analisa sebelumnya."

Baca juga: Wehea-Kelay, Tempat Ekowisata dan Rumah Orangutan di Kalimantan Timur

"Orangutan adalah jenis primata yang mudah beradaptasi dengan habitat baru. Dia tidak akan menghadapi tantangan yang berat kecuali enggak ada sumber makanan," ucapnya.

Sementara itu Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Sumut, Dana Prima Tarigan menilai orangutan tapanuli yang masuk ke permukiman masyarakat diduga karena habitatnya terganggu.

"Nah, penyebabnya bisa jadi karena perburuan, pembukaan lahan, pembangunan infrastruktur, atau kebisingan apa pun itu yang membuat orangutan tidak nyaman dan akhirnya turun ke wilayah masyarakat," ujarnya saat dihubungi VOA Indonesia.

Dana mengatakan, untuk mengurangi frekuensi masuknya orangutan tapanuli ke permukiman masyarakat, habitat aslinya harus diselamatkan.

Baca juga: Bayi Orangutan yang Dirantai Warga di Rumah Walet Alami Cedera Kaki

"Solusinya bukan hanya diselamatkan atau dilepasliarkan. Tapi solusinya adalah menyelesaikan masalah di habitat mereka. Kalau habitatnya rusak ya diperbaiki habitatnya atau dilarang pembangunan di daerah habitat orangutan itu," katanya.

Orangutan tapanuli termasuk satwa liar dilindungi sesuai Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 1999 dan Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018 tentang Jenis Tumbuhan dan Satwa Yang Dilindungi. Sedangkan menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources) termasuk dalam klasifikasi satwa kritis yang terancam punah (critically endangered).

Orangutan tapanuli merupakan spesies kera besar yang hanya ditemukan di hutan Tapanuli, khususnya di tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Tengah, Tapanuli Selatan, dan Tapanuli Utara.

Baca juga: Populasi Orangutan Indonesia Kritis, Bagaimana Melindunginya di Alam?

Sebagian besar populasi orangutan tapanuli tersebar di blok Batang Toru Barat dan Batang Toru Timur. Populasi orangutan itu juga ditemukan di Cagar Alam Dolok Sipirok, Suaka Alam Lubuk Raya, dan Cagar Alam Dolok Sibual-buali.

Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2019, jumlah orangutan tapanuli di wilayah Batang Toru Barat saat ini 400 hingga 600 ekor,sedangkan di Batang Toru Timur sekitar 150-160 ekor.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com