Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Cerita Para Perempuan Terdampak Covid-19, Alami Stres hingga Kekerasan Fisik dan Psikis

Kompas.com - 26/11/2020, 06:06 WIB
Bagus Supriadi,
Dheri Agriesta

Tim Redaksi

JEMBER, KOMPAS.com – Peran perempuan bertambah selama pandemi Covid-19. Namun, hak kaum perempuan justru berkurang selama pandemi.

Perempuan yang memiliki anak berstatus pelajar kini dituntut menjadi seorang guru. Mereka yang berkarier harus pandai membagi waktu.

Hal itu dirasakan warga Kecamatan Kaliwates, Jember, Fitriah Fajarwati. Fitrah seolah tak memiliki waktu luang.

Selain bekerja, Fitrah harus mendampingi anaknya yang masih duduk di kelas II sekolah dasar (SD) untuk belajar daring.

Pulang kerja dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Fitriah tak bisa langsung istirahat.

“Padahal, punggung sudah ingin rebahan, tapi harus dampingi anak,” kata dia kepada Kompas.com via telepon, Selasa (24/11/2020).

Fitriah mengaku, tugas yang diberikan guru kadang tidak dipahami sang anak. Akhirnya, orangtua menjadi tumpuan untuk bertanya.

Baca juga: Jokowi: Pandemi Covid-19 Belum Usai, tapi Kita Akan Pulih dengan Vaksin

“Di situ saya juga harus menjadi guru, menjelaskan PR (pekerjaan rumah) yang tidak dipahami anak-anak,” tutur dia.

Tak jarang Fitrah merasa stres dengan aktivitas itu. Akibatnya, ia emosi karena anaknya tak menurut.

“Kalau guru yang ngajar murid patuh, tapi kalau orangtua yang ngajar kadang enggak nurut,” terang dia.

Fitriah tak memiliki pilihan lain. Ia tetap semangat menjalankan peran seorang ibu di tengah pandemi Covid-19. 

Pandemi Covid-19 juga berdampak terhadap ekonomi masyarakat, terutama yang memilih berwirausaha.

 

Mariana Oktaviana, penjual sari kedelai dalam kemasan asal Kaliwates, mengaku, omzetnya menurun drastis.

“Karena Covid-19, penurunan omzet bisa 80 persen,” tambah Mariana.

Sebelum pandemi, Mariana menjual produknya secara offline. Ia menjajakan sari kedelai kemasan itu di sejumlah acara, bazar, dan kegiatan lain seperti car free day di Alun-alun Jember.

“Saya jual secara offline karena produknya fresh, tidak tahan lama,” terang dia.

Sejak pandemi, penjualan produk sari kedelai dalam kemasan miliknya turun. Sejumlah produk yang dititipkan di toko terpaksa ditarik karena sepi pembeli.

Baca juga: Asal Penerapan Protokol Kesehatan Diperhatikan Sekolah, Saya Tidak Masalah Belajar Tatap Muka

“Kami kehilangan pasar dengan ada wabah ini,” ucap dia.

Di satu sisi, perempuan yang akrab disapa Ana itu harus berpikir keras memenuhi kebutuhan rumah tangga. Ia pun terpaksa mengganti dagangannya.

Kini, Mariana menjual sirup jahe yang siap diminum.

“Dari sana, pembeli secara online mulai meningkat,” kata Mariana.

Sementara itu, Ketua Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) Jember Supiatin menambahkan, banyak dampak yang dirasakan oleh perempuan selama pandemi Covid-19.

 

Biasanya suami menjadi tulang punggung utama ekonomi keluarga. Namun, sekarang perempuan dituntut untuk ikut membantu.

Sebab, penghasilan suami berkurang karena ada yang terkena PHK atau pengurangan jam kerja.

“Mau tidak mau, perempuan harus berpikir dengan pendapatan yang berkurang harus terpenuhi,” kata Supiatin.

Hal ini membuat perempuan rentan depresi, terutama mereka yang tak mampu menahan tekanan.

Tak jarang, kondisi itu juga menyebabkan pertengkaran antara pasangan yang berujung perceraian.

Baca juga: Pesan dan Harapan Guru untuk Pemerintah di Tengah Pandemi Covid-19

Tekanan semakin bertambah karena para ibu juga menjalankan tanggung jawab sebagai guru di rumah.

Di wilayah perdesaan, kata Supiatin, kondisi itu makin memprihatinkan karena latar belakang pendidikan ibu yang rendah.

Kekerasan meningkat

Pusat Perlindungan Terpadu (PPT) Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Keluarga Berencana (DPA3KB) mencatat jumlah kekerasan pada perempuan di tengah pandemi Covid-19 meningkat.

“Sampai Oktober ini sudah ada 42 kasus kekerasan pada perempuan,” kata Solihati, pendamping PPT DP3AKB Jember.

Padahal, terdapat 38 kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang 2019.

 

Solihati menilai jumlah kekerasan itu bisa lebih banyak dibanding yang tercatat. Sebab, banyak perempuan yang tidak melaporkan kasus dugaan tindakan kekerasan yang dialaminya.

Pelaporan tak cuma dilakukan di PPT, tetapi juga polisi dan lembaga lain.

 

“Kita tidak punya satu data, jumlahnya bisa lebih,” ujar dia.

Ia menilai kasus kekerasan pada perempuan mulai dari kekerasan fisik dan psikis terjadi karena alasan beragam, seperti masalah ekonomi.

Baca juga: Fakta Balai Desa di Pacitan Mirip Istana Merdeka, Direnovasi dengan Biaya Rp 200 Juta pada 2015

“Ekonomi keluarga terganggu akibatnya bertengkar di lingkup keluarga,” papar dia.

Tak hanya itu, ada juga perempuan yang mengalami kekerasan psikis karena sang suami yang mudah emosi, seperti sering membentak dan menelantarkan.

“Ada yang dilaporkan ke polisi, tetapi dicabut karena si perempuan merasa kasihan,” jelas dia.

Pengetahuan benteng utama perempuan

Kepala Bidang Kajian Pusat Studi Gender Universitas Jember Deditiani Tri Indrianti menjelaskan, perempuan harus memiliki pengetahuan yang luas.

 

Pengetahuan menjadi fondasi awal menjaga diri dan keluarga dari hal negatif, seperti kekerasan dalam rumah tanga atau lingkungan sekitar.

Perempuan, kata dia, juga harus menguasai pengetahuan seputar pencegahan Covid-19, belajar daring, dan potensi kekerasan.

“Karena perempuan dalam keluarga sebuah benteng,” tutur dia.

Baca juga: Tertipu Modus Pulsa Gratis, Perempuan Ini Kehilangan Uang Ratusan Juta Rupiah

Menurutnya, tantangan perempuan selama pandemi makin kompleks. Peran mereka semakin bertambah, tak hanya di dalam rumah tangga, tetapi harus ikut mencari nafkah.

Penguatan pengetahuan bisa membuat perempuan sadar bahwa peran yang dihadapi di tengah pandemi Covid-19 bukan hanya tanggung jawabnya. Perempuan bisa berbagi tugas dengan keluarga.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com