Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Guru Honorer yang Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar Dapat Sepeda dari Walkot Samarinda

Kompas.com - 25/11/2020, 20:27 WIB
Zakarias Demon Daton,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

SAMARINDA, KOMPAS.com - Wali Kota Samarinda Sjaharie Jaang memberi hadiah sepeda kepada Berta Bua’dera (48), seorang guru honorer yang rela jalan kaki susuri hutan selama 11 tahun demi mengajar.

Berta menjadi guru di SDN Filial 004 di Kampung Berambai, sebuah perkampungan di pinggiran Kota Samarinda.

Setiap hari ia jalan kaki sejauh lima kilometer dari rumahnya menuju sekolah. Letak rumah Berta berada di tengah hutan.

“Karena kisah itu Pak Wali Kota beri dia sepeda. Sepedanya sudah kita serahkan langsung ke Bu Berta belum lama ini,” ungkap Kepala Dinas Pendidikan Samarinda, Asli Nuryadin saat hubungi Kompas.com, Rabu (25/11/2020).

Baca juga: Semua Guru Honorer di Riau Diusulkan Jadi PPPK

Asli menerangkan selama ini Dinas Pendidikan Samarinda tidak mengetahui kisah hidup Berta.

Padahal beberapa kali, kata Asli, Sjaharie Jaang menemui Berta ketika mengunjungi ke sekolah tempat guru honorer mengajar.

"Kita tersentuh juga ketika dengar informasi itu dari media. Kami enggak tahu karena Bu Berta memang tidak cerita," jelas dia.

Asli menerangkan sepeda bukan hal sesuatu yang mewah, tapi setidaknya bisa membantu dia untuk menuju sekolah.

Diketahui, rumah Berta dan sekolah terpisah hutan lebat.  Jaraknya sekitar lima kilometer.

Berlokasi di pinggiran Samarinda bersisian dengan Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tenggarong Sebrang, Kutai Kertanegara. Kawasan ini sebagian besar masih hutan.

“Tiap hari saya begini, jalan kaki lima kilo menuju sekolah bawa bekal,” ungkap Berta kepada Kompas.com saat ditemui di sekolah, Rabu (29/10/2020) sore.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di Samarinda, 11 Tahun Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar

Tak jarang perempuan kelahiran Tanah Toraja, Sulawesi Selatan, ini mengaku menemui ular kobra, monyet bahkan orangutan.

“Monyet paling sering ketemu. Orangutan dan ular jarang-jarang. Tapi ular di sini rata-rata berbahaya ular cobra. Tapi syukur sejauh ini saya aman saja,” harap Berta.

Awal mengajar 2009, Berta jalan kaki bersama anaknya, Emanuel. Saat itu Emanuel masih usia lima tahun. Tiap pagi Berta membawanya ke sekolah.

Keduanya menyusuri jalan sejauh lima kilometer ini sampai sang anak masuk SD hingga lulus di sekolah itu.

Kini Emanuel sudah duduk dibangku SMK dan pindah tinggal di Samarinda bersama tante atau adik Berta.

Karena itu hanya Berta seorang diri yang kini masih bolak balik dari rumah ke sekolah.

Baca juga: Kisah Hidayatullah, 12 Tahun Jadi Guru Honorer, Gaji Rp 900.000 Langsung Potong Utang

Menuju sekolah, Berta mengaku butuh waktu satu setengah sampai dua jam jalan kaki.

Ia biasanya berangkat dari rumah pukul 04.30 Wita, tiba di sekolah biasa pukul 07.30 Wita. Kadang juga lewat.

Mengajar tiga kelas dalam satu ruang

Di sekolah, Berta mengajar murid Kelas I, II dan III. Jumlah murid tiga kelas ini tujuh orang. Di antaranya Kelas I tiga orang, Kelas II satu orang dan Kelas III tiga orang.

Murid tiga kelas ini digabung dalam satu ruang kelas. Berta jadi guru wali tiga kelas ini. Sementara, tiga kelas lainnya, IV, V dan VI guru wali, Herpina (27).

Sekolah ini hanya punya dua guru honor, yakni Berta dan Herpina dengan jumlah 17 murid.

Karena gedung sekolah hanya punya dua ruang kelas. Masing-masing ruang ditempati tiga kelas. Disekat pakai tripleks. Tempat duduk para murid dipisah berdasarkan tingkatan kelas.

Lantai kelas ubin sudah retak di mana-mana. Tangkup sekolah dari seng juga penuh karat. Pondasi bagian bekalang gedung juga retak.

Bangunan berusia 25 tahun ini, jadi satu-satunya bangunan beton di kampung ini. Sekolah ini induknya di SDN 004 di Kota Samarinda.

Baca juga: Kisah Atin Menjadi Guru Honorer Puluhan Tahun, Pernah Digaji Hanya Rp 12.500 Sebulan

SD Filial dibangun Pemkot Samarinda mengakomodasi anak-anak di kampung ini. Sebab, letak kampungnya jauh dari sarana pendidikan. Jarak Samarinda menuju kampung ini sekitar 25 kilometer.

Kampung yang dihuni sejak 1982, memiliki luas sekitar 11 hektar. Kini sudah ada 64 kepala keluarga yang bermukim di kampung ini. Mereka rata-rata bertani dan kebun.

Tahun 2000-an, Pemkot Samarinda memasukkan kampung jadi wilayah administrasi Samarinda karena beberapa RT dinilai lebih dekat.

Pemkot Samarinda juga membuka jalan penghubung menuju kampung ini dari Samarinda melewati jalur Batu Besaung.

Namun, belakangan proyek semenisasi jalan distop karena Pemkab Kutai Kertanegara menyoal. Terjadi tarik ulur perebutan wilayah kampung ini.

Konfik berakhir pada 2012 setelah Gubernur Kaltim Awang Faroek Ishak kala itu mengeluarkan SK Nomor 136/590/BKPW-C/I/2012 tentang kepemilikan wilayah oleh Pemda Kutai Kertengara.

Keputusan ini memberi konsekuensi nasib SDN Filial. Gedung sekolah aset punya Pemkot Samarinda tapi lahan milik Pemkab Kutai Kertanegara.

Baca juga: Jadi Guru Honorer Itu Banyak Membatin, Tidak Tahan kalau Bukan Panggilan Jiwa

Sampai saat ini kasus ini masih menggantung. Pemkot Samarinda mengaku khawatir perbaiki bangunan itu karena asset berdiri di lahan Pemkab Kukar.

Terlepas dari polemik kepemilikan lahan, letaknya sekolah yang jauh dan akses masuk yang sulit membuat guru-guru yang mengajar di sekolah ini tidak bertahan lama.

Tapi tidak dengan Berta dan Herpina. Kedua masih tetap bertahan mengajar demi mencerdaskan generasi bangsa.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com