Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru Honorer Gaji Rp 50.000, Setahun Tak Dibayar hingga Jadi Petugas Sensus

Kompas.com - 25/11/2020, 13:53 WIB
Reni Susanti,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi


BANDUNG, KOMPAS.com – Ipah Hanipah (41) tertawa riang.

Nyaris tak terdengar nada sedih dalam suaranya saat menceritakan kisah hidupnya selama 13 tahun sebagai guru honorer.

“Sepedih apapun saya, kalau pas ngajar harus ceria. Walaupun selama jadi guru honorer kerap mengalami kepedihan,” ujar Ipah mengawali perbincangan dengan Kompas.com, Rabu (25/11/2020).

Ipah mengawali karir sebagai guru geografi di SMA Negeri 1 Sindangwangi, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat, pada 2007.

Baca juga: Jadi Guru Honorer Itu Banyak Membatin, Tidak Tahan kalau Bukan Panggilan Jiwa

Saat itu, SMA ini baru dibangun dengan tujuan warga Kecamatan Sindangwangi memiliki SMA dan bisa belajar.

Karena baru dibangun, yang dicari adalah guru-guru honorer seperti Ipah.

Memulai di sekolah baru bukanlah hal mudah. SMA ini menebeng ke SMA Raja Galuh karena belum memiliki gedung sendiri.

Saat itu, gaji Ipah hanya Rp 50.000 per bulan.

“Karena saya enggka bisa mengendarai kendaraan, jadi uangnya habis terpakai ongkos bolak-balik,” tutur dia.

Baca juga: Terungkap Kasus Penipuan Toko Online, iPhone 8 Dijual Rp 3 Juta

Menginjak semester berikutnya, SMAN 1 Sindangwangi memiliki gedung sendiri di tengah sawah.

Ruangannya ada tiga. Ruang gurunya di teras sekolah dengan sekat triplek.

“Kelasnya di tengah sawah. Jadi kalau lagi belajar, barengan sama kerbau-kerbau dan petani yang lagi bajak sawah,” ucap dia.

Ipah mengaku tidak mengerti kenapa ia bisa bertahan.

Sebab, saat itupun ia tidak dibayar hampir setahun, karena minimnya pendapatan sekolah.

Baca juga: Potret Guru Daerah Terpencil Aceh Utara: Tanpa Gaji Disebut Guru Lillahitaala, Jika Honorer Diupah Rp 300.000 Per Bulan


Warga Sindangwangi merupakan kelompok ekonomi menengah ke bawah.

Siswa yang sekolah di SMA Sindangwangi pun didominasi siswa tidak mampu.

Karena itulah, sekolah tidak bisa berbuat banyak. Sebab orangtua siswa tidak mampu membayar sekolah anaknya.

Hal ini pula yang membuat sekolah kesulitan ketika pemerintah menuntut perbaikan kualitas pendidikan.

Sedangkan sekolahnya tidak mampu membeli fasilitas sendiri.

“Saya enggak pernah berpikir soal pendapatan saat itu. Walaupun memang sedih ketika tidak mampu membeli apa yang diinginkan,” ucap Ipah.

Baca juga: Seleksi Guru PPPK, Mendikbud: Upaya agar Guru Honorer Dapat Gaji Layak

Selama bertahun-tahun, Ipah pun harus memenuhi kebutuhannya dengan uang honor tidak lebih dari Rp 500.000 per bulan.

Untuk mendapatkan uang itu pun ia harus berjuang keras dengan mengajar beberapa mata pelajaran.

“Sering bertanya pada diri sendiri, kapan ya nasib kita berubah. Tapi ya dinikmati saja, benar-benar niatnya berjuang memajukan pendidikan,” tutur Ipah.

“Kalau mengikuti kata hati sangat sedih, pengen beli ini, enggak ada duitnya. Buku pelajaran buat anak-anak saja mahal, jadi pinjam ke sekolah lain dan perpustakaan sekolah lain,” tambah dia.

Baca juga: Semua Guru Honorer di Riau Diusulkan Jadi PPPK

Meski demikian, ia sangat bahagia ketika berhasil mengantar 3 siswanya di angkatan pertama tembus Bidik Misi ke UPI Bandung.

Mereka pun mengambil jurusan Geografi.

Kebahagiaan serupa ia dapatkan ketika siswa-siswinya berhasil menenangkan Olimpiade Geografi Majalengka tahun 2010.

Mengajar serabutan hingga jadi petugas sensus

Ipah mengatakan, secara hitungan matematika, tentu honornya tidak akan cukup. Untuk itulah ia banting tulang mengajar di beberapa tempat.

Sebut saja SD Jerukleuleut 1 dan SD Ujungberung 1. Ia mengajar di dua SD tersebut hingga 2015. Selain itu, ia pun mengajar di SMA Terbuka.

Ia juga terlibat aktif jadi petugas sensus. Selama satu tahun sekali, ia akan memaksimalkan waktunya di sela-sela mengajar untuk menjadi petugas sensus.

Dari petugas sensus inilah ia bisa membeli laptop dan kebutuhan lainnya. Namun, sayangnya petugas sensus ini hanya bisa dijalaninya setahun sekali.

Ipah baru bisa agak lega pada 2017, saat SMA dan SMK di Jabar dipegang oleh Provinsi Jawa Barat.

Saat itulah ia mulai merasakan honor Rp 1 juta per bulan dari pekerjaannya sebagai guru honorer.

Rasanya, tentu tak usah ditanyakan lagi. Ia mengaku sangat bahagia.

Beberapa hari lalu, Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengumumkan kesempatan bagi guru honorer untuk mendaftar dan mengukuti ujian seleksi menjadi guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun 2021.

Seleksi ini terbuka bagi guru honorer yang terdaftar di Data Pokok Pendidikan (Dapodik), serta lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.

Mendengarkan pengumuman ini, Ipah tentunya sangat ingin mendaftar dan menjadi ASN.

Ia kini tengah menyiapkan diri mempelajari berbagai soal.

“Saya berharap pemerintah lebih aware untuk peserta PPPK yang pengabdiannya sudah lama bahkan puluhan tahun. Kehidupannya juga jauh lebih susah dari saya, tolong diperhatikan,” kata Ipah.

Ia pun berharap, sertifikasi diperhitungkan sebagai tambahan nilai saat rekrutmen PPPK.

Di akhir obrolan, Ipah pun bercerita kenapa ia bisa bertahan menjadi guru honorer dengan gaji yang minim.

“Saya bahagia kalau sama anak-anak didik saya. Saya suka dengan kebandelan mereka,” kata Ipah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com