Bertahan dengan gaji kecil
Menurut Heru, apabila mengandalkan gaji honor sangat kecil.
Tahun 2008, gaji honornya hanya Rp 500.000 per bulan, ditambah uang transportasi Rp 10.000 per hari.
Saat ini, pada 2020, gaji honorernya hanya Rp 800.000 per bulan.
Itu sebabnya ia mengejar sertifikasi dengan berpindah-pindah induk sekolah, karena terbentur jumlah jam mengajar.
Hingga akhirnya ia mendapat honorarium Rp 2.040.000 per bulan dari provinsi.
“Jadi guru honor itu tidak enak, sering dikesampingkan. Banyak membatin. Kalau bukan panggilan jiwa, enggak akan bertahan lama,” ungkap Heru.
Contohnya, di sekolah negeri tempatnya menginduk, ia hanya mendapat sedikit jam pelajaran.
Setiap dua hari per minggu, dari pagi sampai pukul 10.00 WIB.
Untuk memenuhi persyaratan jam mengajar, ia akhirnya mengajar di sekolah swasta.
Belum lagi kebutuhan ekonomi keluarga yang terus meningkat, seiring pendidikan anaknya yang semakin tinggi.
Hingga kini, ia bahkan belum bisa memutuskan apakah anak terbesarnya akan melanjutkan ke perguruan tinggi atau bekerja, karena keterbatasan ekonomi.
“Sampai sekarang saya masih nebeng di rumah mertua. Ke sekolah juga pakai motor. Kalau ada guru honorer pakai mobil, itu biasanya suami istri bekerja. Kalau kayak saya, pakai motor saja,” ucap dia.
Bahkan untuk keperluan mengajar online, pada semester sebelumnya ia kerap menumpang di tempat temannya yang memasang wifi.
Sebab, jika ia memaksakan diri menggunakan kuota internet, biayanya terlalu besar dan koneksinya sering terputus.
“Kalau sekarang sudah pasang wifi di rumah. Untuk bayarnya, nanti saya cari,” kata Heru sambil tertawa.