Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Guru Honorer Rini, Rumah Terbakar dan Nyambi Mulung Sawit, Tetap Ikhlas Mengajar

Kompas.com - 23/11/2020, 20:50 WIB
Suwandi,
Farid Assifa

Tim Redaksi

JAMBI, KOMPAS.com - Guru honorer bernama Rini Purwati tetap profesional meskipun dibayar Rp 700.000 setiap bulan.

Untuk menambal kebutuhan makan sehari-hari, perempuan muda ini tidak malu memungut berondol (buah sawit).

Setelah rumahnya terbakar beberapa waktu lalu, dia dan keluarga terpaksa menumpang di rumah orang.

"Saya memilih guru sebagai jalan hidup dan menolak dorongan orangtua untuk jadi tentara," kata Rini melalui sambungan telepon, Senin (23/11/2020).

Baca juga: Mendikbud Nadiem Minta Pemda Ajukan Sebanyak Mungkin Guru Honorer untuk Jadi PPPK

Dia maklum bahwa negara hanya membayarnya Rp 700.000 setiap bulan. Soalnya ekonomi negara sedang terpuruk akibat pandemi.

Rini tercatat sebagai guru honorer di SDN 81/X Pematang Rahim, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Provinsi Jambi.

Guru itu pekerjaan mulia, kata Rini. Tugasnya mencerdaskan anak bangsa. Tentu dia senang membantu anak-anak untuk belajar dan menguasai ilmu pengetahuan.

Rini lahir dari keluarga yang hidup sederhana dan membuatnya harus bekerja sambil menempuh pendidikan FKIP di Universitas Sriwijaya Palembang (UNSRI) sebagai atlet lari jarak pendek.

"Semua ikhlas saya lakukan demi mencapai cita-cita menjadi seorang guru," katanya.

“Jadi guru itu kuncinya harus ikhlas, kalau tidak ikhlas nanti tidak bermanfaat ilmu yang kita berikan kepada siswa,” lanjutnya.

Mulung berondol sawit

Setelah lulus kuliah, Rini kemudin menjadi guru honorer mata pelajaran olahraga di SDN 81/X Pematang Rahim Tanjung Jabung Timur.

“Saya merasa sangat senang setiap kali saya bertemu anak-anak dan mengajar mereka,” ujar Rini.

Namun, upah guru honorer tidaklah besar. Tentu untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia harus bekerja serabutan.

Baca juga: Kisah Guru Honorer di Samarinda, 11 Tahun Jalan Kaki Susuri Hutan demi Mengajar

Apalagi Rini termasuk tulang punggung keluarga. Dia hanya tinggal bersama ibunya yang usianya juga sudah tua.

Dia pun terpaksa membagi waktu antara mengajar dan menjalani pekerjaan sampingan sebagai pengumpul berondolan sawit yang hanya dihargai Rp 500 per kilogram.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com