“Jawa Tengah punya modal sosial, politik, ekonomi yang bisa mencegah perwakinan anak. Berdirinya PKK di Indonesia juga diawali dari inspirasi Jawa Tengah saat itu. Dari segi keagamaan, Jawa Tengah juga memiliki pesantren dengan jumlah cukup banyak. Sementara untuk kekuatan ekonomi, industri banyaknya di Jawa Tengah. Ini modal besar sebenarnya,” ujarnya.
Lies yang selama belasan tahun melakukan penelitian pernikahan usia anak di Jawa Tengah menilai ada korelasi antara hilangnya akses masyarakat terhadap lahan atau agrarian dengan jumlah perkawinan usia anak.
Sehingga, perubahan politik ekonomi di pusat berpengaruh pada relasi gender.
Menurutnya, banyak memiliki lembaga riset terbaik di Jateng yang mempunyai akses besar ke pusat.
Hal itu bisa menempatkan Jateng menjadi tolok ukur pembangunan pencegahan perkawinan anak.
“Harus ada lembaga pendidikan tingkat desa setingkat SMA. Harus ada lapangan kerja setelah anak-anak lulus SMA. Itu jalan keluar terbaik untuk mencegah perkawinan usia anak,” terangnya.
Sosiolog Universitas Negeri Sebelas Maret, Rahesli Humsona juga menyoroti fenomena tingginya angka pernikahan anak di Jawa Tengah.
Menurutnya, pernikahan anak di bawah umur merupakan bentuk pelanggaran dari hak-hak anak, meski terdapat budaya masyarakat yang menempatkan kawin usia anak sebagai sebuah keharusan.
“ Pernikahan anak adalah pelanggaran. Hak pendidikan anak menjadi hilang. Anak perempuan yang kawin tidak boleh sekolah. Ini membuat kesempatan berkreativitas juga terhambat. Ini juga memasukkan anak pada lingkaran kemungkinan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga, baik secara fisik maupun psikis,” terangnya.
Dia berpendapat, kondisi ekonomi masyarakat yang berada di garis kemiskinan, juga menyebabkan kontrol orangtua kepada anak-anak menjadi lebih sedikit.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan