Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Walhi Minta Hentikan "Food Estate" di Hutan Lindung, Komisi IV: Hutan Gundul Seharusnya Direboisasi

Kompas.com - 17/11/2020, 08:06 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com -  Wakil Ketua Komisi IV DPR RI Dedi Mulyadi meminta pemerintah mengkaji ulang proyek food estate di kawasan hutan lindung.

Sementara Wahana Lingkungan Hidup Indonesia mendesak pemerintah membatalkan proyek tersebut.

Baik Komisi IV DPR maupun Walhi menilai, proyek tersebut mengancam lingkungan dan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan. 

Food estate di kawasan hutan lindung itu tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate.

Menurut Dedi, peraturan menteri tersebut akan berdampak kerusakan pada lingkungan (hutan lindung) yang seharusnya bisa dicegah oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). 

Dedi menjelaskan, hutan lindung diperlukan dalam upaya menjaga ketahanan lingkungan, yaitu menjaga terpeliharanya sumber air, terkendalinya banjir, tidak terjadinya longsor, tidak terjadinya erosi, temperatur udara tetap normal, dan menjaga ekosistem yang berdampak bagi kehidupan dan kesejahteraan manusia.

Baca juga: Jokowi Sebut Food Estate Bakal Dikembangkan Selain di Sumut dan Kalteng

Menurutnya, yang dimaksud dalam Permen 24 itu adalah pemanfaatan hutan lindung yang tak berfungsi sebagai hutan lindung untuk dijadikan food estate. 

Artinya, kata dia, hutan lindung yang sudah gundul dimanfaatkan untuk food estate.

Dedi mengatakan, hutan gundul itu mestinya dihijaukan kembali agar menjadi hutan lindung, bukannya dimanfaatkan menjadi food estate.

"Ketika hutan lindung gundul, pertama yang harus ada dalam pikiran seorang menteri, dirjen, direktur, adalah mengembalikan fungsi hutan itu menjadi lindung. Itu dulu pikiran utamanya. Artinya harus dibuat program penanaman yang dalam jangka panjang lahan itu kembali lagi menjadi hutan lindung," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Senin (16/11/2020) malam.

Dedi mengatakan, jika pun ingin menjadikan hutan gundul sebagai food estate, Dedi meminta pemerintah mengkajinya dahulu secara matang. Apakah program itu akan berdampak pada bencana alam seperti banjir, longosor dan hilangnya sumber air.

"Kalau akan berdampak, maka lindungkanlah (dijadikan kembali hutan lindung). Kalau tak berdampak, toh posisi hari ini pun oleh masyarakat sekarang sudah digunakan untuk ngahuma (tanam padi). No poblem. Tetapi dalam jangka panjang tetap aspek fungsi hutannya harus dikembalikan," katanya.

Menanam padi di hutan gundul, lanjut Dedi, bisa dilakukan bersamaan dengan menanam pohon. Dalam tradisi masyarakat sunda, kata dia, hal itu sudah biasa dilakukan.

"Dalam tradisi saya kan begitu. Ngahuma sambil menanam pohon tegakan. Dalam waktu 5 tahun sudah kembali jadi rimbun. Maka profesi ngahuma bergeser kembali. Hutan itu tanpa dieksploitasi masih bisa menjadi sumber pangan. Misalnya pariwisata, pekerjan oleh masyarkat sekitar hutan seperti peternakan, perikanan, itu kan ujungnya food estate," kata Dedi.

Walhi: Konsep pertanian tanpa petani

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dalam siaran persnya mendesak pemerintah menghentikan penciptaan food estate di kawasan hutan lindung.  

Salah satu caranya adalah dengan membatalkan Peraturan Menteri LHK 24 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate

Menurut Walhi, Penerbitan Peraturan Menteri LHK 24 akan memperkuat dominasi korporasi terhadap kawasan hutan Indonesia.

Permen ini menambah varian perizinan baru di kawasan hutan. Laju penebangan hutan alam akan menjadi konsekuensi logis dari Permen ini.

Pengecualian kewajiban pembayaran provisi sumber daya hutan (PSDH) dan/atau Dana Reboisasi (DR) menjadi catatan penting bahwa negara semakin memperlihatkan keberpihakannya pada investasi.

“Lahirnya Permen ini semakin menegaskan muka jahat program food estate. Pada prinsipnya, food estate merupakan konsep yang mendorong pertanian skala besar dengan mengandalkan kolaborasi negara dan investasi. Sederhananya, food estate merupakan konsep pertanian tanpa petani,” sebut Nur Hidayati, Direktur Eksekutif Walhi dalam siaran pers yang dikonfirmasi ulang Kompas.com via WhatsApp, Selasa (17/11/2020).

Peraturan Menteri LHK 24/2020, menurut Nur Hidayati, akan memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan kawasan hutan Indonesia.

Saat ini, 33,45 juta hektar atau 26,57 persen kawasan hutan telah dikavling untuk kepentingan bisnis korporasi.

Dalam waktu 20 tahun belakangan, tercatat lebih dari 26 juta hektar kawasan hutan dilepaskan untuk kepentingan bisnis.

Penerbitan Permen LHK 24/2020 akan membuka ruang penguasaan investasi melalui skema kolaborasi negara dan korporasi.

Permen ini mengatur dua skema penyediaan kawasan hutan untuk kepentingan food estate, yaitu melalui skema perubahan peruntukan kawasan hutan dan penetapan kawasan hutan untuk ketahanan pangan.

Aturan seperti Permen LHK 24 ini merupakan turunan dari Omnibus Law UU Cipta Kerja. Aturan ini dinilai akan makin mempercepat eksploitasi lingkungan hidup dan deforestasi di Indonesia.

Nur Hidayati menyebutkan, ada 3 alasan mendasar pelepasan kawasan hutan untuk food estate justru akan menambah masalah. Pertama mempercepat laju deforestasi sebagaimana pengalaman sebelumnya pada hutan di Kalimantan untuk proyek PLG dan Papua untuk MIFEE.

Alasan kedua adalah meminggirkan rakyat dan berpotensi konflik. Pendekatan korporasi dalam skala luas, terlebih dalam konteks Permen 24 yang tidak memasukkan skema pengelolaan rakyat, justru memperpanjang ancaman potensi konflik.

"Seharusnya negara mengembalikan urusan pangan pada petani, terlebih capaian TORA dan PS selama ini tidak signifikan," tandas Nur Hidayati.

Baca juga: Setahun Jokowi-Maruf: Menhan Prabowo dan Proyek Food Estate

Alasan ketiga bahwa hutan lindung untuk food estate justru akan menambah ancaman kerugian negara.

Berdasarkan catatan Walhi, proyek-proyek food estate justru menimbulkan banyak kerugian negara. Misalnya, proyek PLG yang setidaknya menyedot APBN hingga Rp 1,6 triliun gagal total untuk menjadikan lumbung pangan. Bahkan justru sebagian wilayahnya telah berganti menjadi perkebunan sawit hingga saat ini.

"Ironisnya proyek ini dibangun dengan menggunakan dana reboisasi (DR) yang diperuntukkan bagi pemulihan hutan," tandasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com