BANDUNG, KOMPAS.com – Bachti Alisjahbana, dokter penyakit dalam di RS Hasan Sadikin Bandung merupakan pendiri start up diagnostik penyakit dan juga peneliti di bidang kesehatan dari Universitas Padjajaran (Unpad).
Ia berbagi pengalamannya memproduksi "rapid test" antigen yang kemudian terpakai saat ini untuk mendeteksi secara cepat pasien apakah terpapar Covid-19 atau tidak.
Rapid test antigen dan antibodi pertama kali dibuatnya saat bertugas di salah satu Puskesmas di Kabupaten Jaya Wijaya, Provinsi Papua, 2008 silam.
Baca juga: Kasus Covid-19 Tembus 291.182, Indonesia Minta Bantuan Alat Rapid Test Antigen ke WHO
Berbeda dengan Jawa, tanah Papua gelap gulita. Tak ada listrik. Satu-satunya aliran listrik di sana berasal dari solar panel untuk lemari es vaksin.
Tak heran, jika Puskesmas adalah satu-satunya tempat yang terang di daerah tersebut. Sisa listriknya, ia manfaatkan untuk membuat laboratorium yang dibutuhkan saat memeriksa malaria.
Bachti dan temannya yang bekerja di bidang diagnostik, Sukwan, kemudian menciptakan rapid test antigen.
“Alasannya sederhana, karena kita butuh rapid test dan alat tersebut sulit diperoleh (di Papua),” tutur dokter spesialis penyakit dalam ini kepada Kompas.com di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), belum lama ini.
Baca juga: Mengenal GeNose, Alat Canggih Pendeteksi Covid-19 dalam 80 Detik Lewat Embusan Napas
Bachti dan rekannya tidak hanya meneliti. Mereka membuat start up dengan bantuan dana orangtua Bachti untuk memproduksi rapid test antigen. Rapid test jenis ini sempat diremehkan sejumlah pihak.
“Bikin (alat) rapid test tidak sulit. Kita punya penyakitnya, kumannya, tapi tidak ada produsen antigen dan antibodi di Indonesia,” ungkap dia.
Jadi, Bachti dan rekannya pun kemudian mengimpor antibodi dan antigen untuk diujikan ke pasien. Kalau hasilnya bagus, bisa dijual. Kalau tidak, kembali mengambil antibodi dan antigen dari luar negeri.
“Perjalanannya sulit. Kita lakukan berbagai cara. Pertama pakai produk luar negeri, baru pelan-pelan diubah komponennya,” ucap dia.
Setahun kemudian, produk selesai dan ia mengurus izin edar. Begitu memasuki distribusi, ia menemukan perjuangan yang sebenarnya.
Ia menceritakan bagaimana sulitnya menembus pasar. Apalagi pemerintah membiarkan produk lokal seperti dirinya bersaing langsung dengan produk impor.
Seperti diketahui, produk impor dibuat secara massal dengan modal besar, sehingga harga yang mereka tawarkan jauh lebih rendah dibanding produknya.
Akibatnya, di hutan rimba distribusi, banyak produk lokal yang kewalahan karena sulit bersaing dengan produk asing.
Baca juga: Saat Rapid Test Antigen Disebutkan Gagal Mendeteksi Orang Tanpa Gejala Covid-19...
Padahal, pasarnya banyak dan besar. Dengan penjualan seadanya saja, pertumbuhan diagnostik di Indonesia terbilang bagus.
Dari awalnya hanya 1-2 perusahaan diagnostik, kini ada 5-6 produk dalam negeri. Namun tentunya tetap kalah dengan China.
Karena kapasitas produksi China kencang sekali, bisa 10 kali lipat. Untuk itu produk lokal butuh perlindungan.
Misal, jika ada tender nasional, dari 100 persen, berikanlah 20 persen untuk produk dalam negeri.
Baca juga: Beda Alur Pemeriksaan Rapid Test Antibodi dan Rapid Test Antigen
Ia merasa terbantu sejak e-katalog hadir 2017. Di e-katalog, produk lokal diberi kesempatan menawarkan produk lebih dulu ketimbang asing.
“Pasarnya banyak, sekarang saya bisa jual sekitar 300.000-500.000 keping per tahun. Pasarnya lebih besar dari itu, bisa 10 kali lipat,” ucap dia.
Baru Ketika Covid-19 masuk Indonesia, produk-produk lokal ini menjadi penolong.
Baca juga: Indonesia Minta Bantuan Alat Rapid Test Antigen ke WHO
Sulitnya produk asing masuk karena lockdown dan meningkatnya kebutuhan masing-masing negara terhadap obat-obatan, menjadikan produk dalam negeri dibutuhkan.
Bahkan pihaknya harus menggenjot produksi karena pemerintah dan masyarakat Indonesia membutuhkan.
Ia berharap, Indonesia bisa seperti negara maju yang komitmennya membantu produk local sangat jelas.
“Kalau dilihat dari sisi pengembangan biotekbologi kedokteran, kita lemah dalam komitmen untuk mendukung industri lokal dan masuknya teknologi baru,” tutur dia.
Namun tidak semua hasil penelitian berhasil dihilirisasi. Ada banyak penelitian dirinya dan rekan-rekannya berakhir di publikasi ilmiah.
Salah satu penelitian yang tidak berhasil dihilirisasi adalah foto thorax yang bisa digunakan screening TB, bisa untuk mendeteksi Covid-19. Karena banyak pasien TB tidak mengeluarkan gejala seperti Covid-19.
Tapi penelitian itu gagal menembus Kementerian Kesehatan. Walaupun di rumah sakit swasta dan beberapa sudah menerapkannya.
Pemerintah bersikukuh screening TB melalui pemeriksaan dahak, meskipun tidak bisa mendeteksi orang yang tanpa gejala.
“Karena harganya murah. Tapi kemudian pemerintah akan membeli alat pemeriksa dahak molekular, yang harganya jauh lebih mahal dibanding thorax,” ungkap dia.
Ia melihat, Kementerian Kesehatan tahu manfaat foto rontgen ini untuk pasien TB, tapi mereka bingung harus berbuat apa.
Ketidaksinkronan antara peneliti dengen penerima manfaat hanya salah satu masalah minimnya hilirisasi riset.
Sebagai seorang peneliti dan praktisi, ia melihat persoalan lain mengapa hilirisasi tidak berjalan optimal. Yakni tidak nyambungnya industri dan peneliti.
“Company tertarik dimana, peneliti tertarik hal lain, jadi enggak nyambung. Dua-duanya harus menurunkan arogansi dan saling bicara sebelum penelitian. Karena marketing lebih sulit ketimbang produksi,” tutur dia.
Pemerintah pun harus lebih mencanangkan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), sehingga industri mau tidak mau mencari produk dalam negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.