Namun tidak semua hasil penelitian berhasil dihilirisasi. Ada banyak penelitian dirinya dan rekan-rekannya berakhir di publikasi ilmiah.
Salah satu penelitian yang tidak berhasil dihilirisasi adalah foto thorax yang bisa digunakan screening TB, bisa untuk mendeteksi Covid-19. Karena banyak pasien TB tidak mengeluarkan gejala seperti Covid-19.
Tapi penelitian itu gagal menembus Kementerian Kesehatan. Walaupun di rumah sakit swasta dan beberapa sudah menerapkannya.
Pemerintah bersikukuh screening TB melalui pemeriksaan dahak, meskipun tidak bisa mendeteksi orang yang tanpa gejala.
“Karena harganya murah. Tapi kemudian pemerintah akan membeli alat pemeriksa dahak molekular, yang harganya jauh lebih mahal dibanding thorax,” ungkap dia.
Ia melihat, Kementerian Kesehatan tahu manfaat foto rontgen ini untuk pasien TB, tapi mereka bingung harus berbuat apa.
Ketidaksinkronan antara peneliti dengen penerima manfaat hanya salah satu masalah minimnya hilirisasi riset.
Sebagai seorang peneliti dan praktisi, ia melihat persoalan lain mengapa hilirisasi tidak berjalan optimal. Yakni tidak nyambungnya industri dan peneliti.
“Company tertarik dimana, peneliti tertarik hal lain, jadi enggak nyambung. Dua-duanya harus menurunkan arogansi dan saling bicara sebelum penelitian. Karena marketing lebih sulit ketimbang produksi,” tutur dia.
Pemerintah pun harus lebih mencanangkan TKDN (tingkat kandungan dalam negeri), sehingga industri mau tidak mau mencari produk dalam negeri.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.