Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Soeroto Koento, Mahasiswa Kedokteran yang Bobol Radio Jepang, Kawal Soekarno Pidato, hingga Hilang Diculik

Kompas.com - 11/11/2020, 06:37 WIB
Farida Farhan,
Aprillia Ika

Tim Redaksi

 

Monumen Soeroto Koento

Dalam Laporan Panitia Penyelidik dari Kepolisian tertanggal Purwakarta 29 April 1947 tentang Pendudukan Tambun oleh Lasykar Rakyat pada 13-18 April 1947.

Dalam laporan itu dijelaskan Laskar Rakyat Jakarta berada di bekas pabrik penggilangan beras di Desa Lamaran bernama Lawat. Gedung ini dijadikan markas sekaligus tempat evakuasi orang-orang dari Jakarta yang dianggap tak sejalan dengan Lasykar Rakyat.

Di belakang pabrik itu, terdapat sebidang tanah penuh dengan tulang belulang manusia. Tempat ini tertutup bagi masyarakat umum. Soeroto Koento diduga juga menjadi korban. Hal ini sejalan dengan keterangan Ali Umar, mantan Pejuang SP 88.

Masih dalam Buku Sejarah Perjuangan Soeroto Koento karangan Sukarman, Warliyah, dan Ii Wahyudin yang dipublikasikan Dinas Penerangan Pariwisata dan Budaya Kabupaten Karawang itu, pada akhir April 1947 operasi pembersihan Lasykar Rakyat selesai.

Panji, pemimpinnya, melarikan diri melalui garis demarkasi, masuk ke daerah yang diduduki Belanda. Panji kemudian menyerah kepada Belanda dan menjadi intelijen Belanda.

Kini, tempat ditemukannya kendaraan Soeroto dibangun Monumen Soeroto Koento. Pada monumen itu juga terdapat puisi Krawang-Bekasi karangan Chairil Anwal. Kemudian jalan di Desa Warung Bambu itu dinamai Jalan Soeroto Koento.

Baca juga: 17 Agustus: Mengenang Rumah Petani Tionghoa, Tempat Penyusunan Teks Proklamasi di Rengasdengklok

Aksi mogok saat jadi mahasiswa sekolah kedokteran

Sejak menjadi mahasiswa Sekolah Kedokteran, Soeroto Koento sudah kritis dan berani. Bersama kawan-kawannya, dia vokal melancarkan protes melalui aksi mogok kuliah.

Mayor Oetarjo menyebut, aksi mogok itu dilakukan sebagai refleksi dari ketidaksukaan terhadap Jepang. Latihan dasar kemiliteran oleh pelatih Jepang sangat keras. Mahasiswa tersinggung dengan cara sewenang-wenang dan melanggar kehormatan mereka sebagai putera-putera Indonesia.

Apalagi pada Desember 1443, terjadi peristiwa penggundulan paksa dan pemukulan secara kasar terhadap seorang mahasiswa tingkat II.

Mahsiswa Sekolah Kedokteran dan Jurusan Perawat pun melakukan pertemuan-pertemuan. Hasilnya disepakati melakukan mogok kuliah.

Soebianto Djoyohadikoesoemo, Daan Jahja Sanjoto, Oetarjo, dan Soeroto Koento menyamar menjadi rakyat biasa untuk mengelabuhi pihak Jepang.

Baca juga: Diyakini dari Kerajaan Siluman, Kepala Buaya Raksasa Dipotong

 

Sejak pukul 06.00 pagi mereka menjaga pintu-pintu masuk Sekolah Kedokteran di Jalan Salemba Raya dan Jurusan Apoteker di Jalan Diponegoro. Rencana itu berhasil, tak seorang pun mahasiswa yang datang ke kampus.

Rektor Jepang Prof. Dr. Itagaki dan Administrator Fakultas Horibe pun terkejut dengan aksi mogok serentak itu. Aksi ini kemudian dilaporkan ke Kempetai atau Polisi Militer Jepang.

Esok harinya, aksi mogok itu disiarkan radio Sekutu dari Australia dan Amerika. Pihak Jepang pun khawatir aksi mogok didalangi agen Intelijen Sekutu.

Soeroto Koento bersama 30 mahasiswa Sekolah Kedokteran (Ikaidaigaku) dan Jurusan Apoteker ditangkap Kempetai Jepang berkautan dengan aksi mogok kuliah di Jakarta pada Desember 1943.

Sebanyak 21 lainnya ditahan selama satu hingga dua minggu, sementara 9 lainnya ditahan sebulan mulai pertengahan Januari hingga Februari 1944. Kesembilan orang yang dianggap sebagai penggerak aksi mogok itu yakni Poerwoko, Petit Moeharto, Soedarpo, Soejatmoko, Soeroto Koento, Soebianto Djojohadikoesoemo, Daan Jahja, Sanjoto, dan Oetarjo.

Mereka kemudian dipulangkan namun dikeluarkan dari kuliah. Pun mendapat ancaman apabila kembali melakukan aksi serupa. Mereka pun semakin menyadari arti penting kekuatan militer.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com