KOMPAS.com - Keluarga pendeta Yeremia Zanambani yang tewas ditembak di Kabupaten Intan Jaya, Papua, September lalu, menolak proses perkaranya digelar di pengadilan militer dan menuntut dilakukan di pengadilan hak asasi manusia (HAM).
"Karena kami tidak meyakini peradilan militer dapat mengungkap kebenaran dan menghukum pelaku sesuai perbuatannya serta memberikan keadilan bagi kami," kata Rode Zanambani, anak pendeta Yeremia, Selasa (10/11/2020).
Keterangan itu disampaikannya secara tertulis dan berupa rekaman video yang diterima BBC News Indonesia, Selasa (10/11/2020).
Baca juga: Komnas HAM Minta Pengusutan Kasus Penembakan Pendeta Yeremia Dilakukan Secara Akuntabel
Dihubungi secara terpisah, Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Mayjen TNI Achmad Riad mengatakan bahwa hingga saat ini belum ada kesimpulan atau pernyataan mengenai siapa pelakunya.
"Prosesnya kan masih belum selesai, masih proses penyidikan. Dari mana bisa ada ininya (pelakunya oknum TNI)?" Kata Achmad Riad saat dihubungi wartawan BBC News Indonesia melalui saluran telepon, Selasa (10/11/2020) sore.
Achmad Riad menegaskan, beberapa waktu lalu, kepolisian baru melaksanakan proses uji balistik, dan belum melakukan pemeriksaan saksi ataupun mengumpulkan keterangan.
Baca juga: Mahfud: Pengusutan Kasus Kematian Pendeta Yeremia Tak Pandung Bulu
Pendeta Yeremia ditembak pada Sabtu, 19 September lalu, dan temuan sementara tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan pemerintah Indonesia menyimpulkan "adanya dugaan keterlibatan aparat dan kemungkinan pihak ketiga."
Sementara, hasil investigasi Komnas HAM menyebutkan "dugaan keterlibatan anggota TNI" dalam pembunuhan pendeta Yeremia Zanambani, di Distrik Hitadipa, Papua.
Komnas kemudian merekomendasikan agar kasus pembunuhan pendeta Yeremia "dibawa ke peradilan koneksitas demi transparansi".
Baca juga: Mahfud Akan Sampaikan Temuan Komnas HAM soal Pendeta Yeremia ke Presiden
Rode mengklaim bahwa perkara ini akan dilimpahkan ke Pomdam untuk selanjutnya akan di proses dalam peradilan militer untuk disidangkan.
"Kami sangat tidak sepakat jika proses hukum perkara pembunuhan ayah kami ini dilakukan di peradilan militer," kata Rode.
Baca juga: Mahfud Terima Laporan Temuan Komnas HAM soal Kematian Pendeta Yeremia
"Karena kami tidak meyakini peradilan militer dapat mengungkap kebenaran dan menghukum pelaku sesuai perbuatannya serta memberikan keadilan bagi kami," tambahnya.
Rode lantas menuntut agar proses hukum atas perkara pembunuhan ayahnya dilakukan di pengadilan HAM.
"Supaya perkara ini dapat diperiksa secara seadil-adilnya dan pelaku dapat diproses setimpal dengan perbuatannya dan memberikan rasa keadilan bagi kami," tegasnya.
Baca juga: Ada Dugaan Keterlibatan Oknum TNI di Kasus Pendeta Yeremia, Polisi Diminta Transparan
Keluarga pendeta Yeremia juga menolak jika tim penyidik atau badan independen berencana melakukan otopsi terhadap jenazah.
Alasannya, "dengan (keterangan) saksi-saksi, keterangan ahli, petunjuk serta barang bukti yang ada sudah bisa diungkap pelakunya, tanpa harus otopsi.
"Selain itu otopsi terhadap jenasah ayah kami sangat bertentangan dengan budaya kami. Jika otopsi dilakukan akan terjadi hal buruk pada kami, dan ini tentunya akan menambah beban kami lagi," jelas Rode.
Baca juga: Membandingkan Temuan TGPF dan Komnas HAM soal Kematian Pendeta Yeremia
"Prosesnya kan masih belum selesai, masih proses penyidikan. Dari mana bisa ada ininya (pelakunya oknum TNI)?" kata Achmad Riad saat dihubungi BBC News Indonesia, Selasa (10/11/2020).
Achmad Riad menegaskan, beberapa waktu lalu, kepolisian baru melaksanakan proses uji balistik, dan belum melakukan pemeriksaan saksi ataupun mengumpulkan keterangan.
Baca juga: Polisi Masih Dalami Jenis Senjata yang Digunakan untuk Membunuh Pendeta Yeremia
"Kita menggunakan dasarnya itu dari Tim TGPF, dari Menko Polhukam menyampaikan bisa (pelakunya) oleh aparat ataupun pihak ketiga. Saya tidak bisa sampaikan lebih detail, tapi intinya bahwa sampai saat ini belum ada (pelakunya)," kata Riad.
Sebelumnya, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menyebut, berdasarkan hasil temuan TGPF, muncul dugaan keterlibatan oknum aparat dan juga pihak ketiga.
Namun hasil TGPF tidak bersifat pro justitia, melainkan menjadi bahan bagi penegak hukum, kata Mahfud.
Baca juga: Polri: Penyidikan Kasus Pembunuhan Pendeta Yeremia Belum Menjurus ke Terduga Pelaku
Untuk itu, hasil temuan TGPF telah diserahkan kepada kepolisian dan kejaksaan untuk kemudian didalami.
Terkait dengan penolakan keluarga Pendeta Yeremia jika proses hukum dilakukan di pengadilan militer, Achmad Riad belum bisa mengomentari.
"Karena kita belum sampai ke situ. Proses pro justitianya juga belum karena baru disampaikan Pak Menko Polhukam silahkan akan dilanjutkan.
"Jadi artinya kita akan mendengar semua masukan itu tapi karena sekarang sudah masuk di ranahnya yang direkomendasikan TGPF dan tengah ditindaklanjuti prosesnya penyidikan oleh aparat kepolisian," kata Achmad Riad.
Baca juga: YLBHI: Tak Boleh Ingkari Fakta dalam Kasus Penembakan Pendeta Yeremia
Mereka merekomendasikan agar kasus penembakan pada 19 September lalu itu dibawa ke peradilan koneksitas demi transparansi.
Hasil investigasi Komnas HAM ini dirilis hampir dua pekan setelah Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyampaikan laporan tim gabungan pencari fakta (TGPF) yang menunjukkan bahwa ada "dugaan keterlibatan oknum aparat" dalam pembunuhan Pendeta Yeremia Zanambani di Papua.
Baca juga: Komnas HAM Minta Kasus Pembunuhan Pendeta Yeremia Diusut hingga Aktor Paling Bertanggung Jawab
Dalam rilis hasil investigasi kematian Pendeta Yeremia Zanambani, di Distrik Hitadipa, Papua, Komisioner Komnas HAM, Choirul Anam, mengatakan peristiwa pada 19 September lalu diduga melibatkan anggota TNI.
Investigasi itu mengungkap bahwa menjelang penembakan terhadap Pendeta Yeremia, TNI sempat mengumpulkan warga setempat untuk mencari senjata api yang dirampas Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM).
Dalam pengumpulan massa tersebut, Yeremia beserta lima orang lainnya dicap sebagai musuh salah satu anggota Koramil di Distrik Hitadipa.
Laporan Komnas HAM juga mengungkap bahwa korban sebelum meninggal dunia mengungkap identitas pelaku kepada dua orang saksi.
Ada pula tercatat pengakuan saksi-saksi lainnya yang melihat anggota TNI tersebut berada di sekitar TKP pada waktu kejadian bersama dengan tiga atau empat anggota lainnya.
Meski demikian, Kepala Penerangan Kogabwilhan III di Papua, Kolonel Czi Gusti Nyoman Suriastawa, mengatakan pihaknya akan mengambil tindakan tegas bila ada anggota TNI yang terlibat.
Nyoman juga menambahkan bahwa tim gabungan pencari fakta (TGPF) bentukan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, sebelumnya juga menyimpulkan bahwa adanya dugaan keterlibatan aparat, meskipun hingga kini masih belum ada bukti konkret terkait dugaan itu.
Baca juga: Komnas HAM Temukan Dugaan Pengaburan Fakta Penembakan Pendeta Yeremia di TKP
"Sah-sah aja kalau masih ada penyimpulan terduga, boleh-boleh aja, karena tim TGPF juga menyampaikan "diduga kuat", artinya masih dugaan-dugaan sekarang. Biasa saja. Nanti apabila buktinya sudah ada, dan menjadi tersangka oknum yang diduga tersebut, maka TNI akan memberikan tindakan tegas, sesuai hukum yang berlaku," ujar Nyoman via telpon, Senin (2/11/2020).
"Tapi sebaiknya kita menjunjung proses penyelidikan yang dilaksanakan oleh TGPF. Apapun keputusan hasilnya nanti, kita akan melaksanakan," imbuhnya.
Peneliti masalah Papua di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Aisah Putri Budiatri, menekankan pemerintah perlu menindaklanjuti hasil investigasi untuk menunjukkan keseriusannya menyelesaikan masalah kekerasan di Papua.
Baca juga: Temuan Komnas HAM: Pendeta Yeremia Disiksa, Keterlibatan TNI, dan Hilangnya Proyektil Peluru
"Ada dugaan melibatkan aparat dan kemungkinan pihak ketiga. Kemungkinan pihak ketiga itu tidak bisa dihindari karena kan waktu itu dugaan-dugaan yang muncul di luar ada yang menduga aparat, kita selidiki.
"Ada yang menduga pihak ketiga. Kalau pihak ketiga itu kan teori konspirasi saja, KKB yang membunuh lalu nanti dituduhkan ke aparat. Makanya ada saja kemungkinan itu.
"Tapi lihat nanti rangkaian fakta yang dilaporkan dalam buku [laporan TGPF] itu tadi seperti apa. Itu akan mengarahkan ke situ," jelas Mahfud MD pada Rabu, 21 Oktober lalu, kepada para wartawan.
Baca juga: Komnas HAM Ungkap Proyektil Peluru Hilang di TKP Penembakan Pendeta Yeremia
Berdasarkan hasil investigasi itu, Mahfud merekomendasikan penambahan aparat di wilayah Papua untuk menjaga keamanan.
Menanggapi hal ini, Socratez Yoman, selaku Presiden Badan Pelayan Pusat Persekutuan Gereja-gereja Baptis West Papua, BPP-PGBWP, menolak penambahan pasukan sebab tindakan itu menurutnya justru tidak menciptakan iklim damai.
Sementara, peneliti LIPI dan juga koordinator Jaringan Damai Papua, Adriana Elisabeth, mengatakan peningkatan keamanan di wilayah Papua harus dilaksakanan secara hati-hati.
Alasannya, masyarakat Papua memiliki trauma terhadap kehadiran aparat keamanan, terutama TNI, akibat sejarah panjang kekerasan di wilayah tersebut.
Baca juga: Komnas HAM: Oknum TNI Diduga Terlibat Pembunuhan Pendeta Yeremia
Insiden terkait Rusinus merupakan peristiwa penembakan ketiga yang pada tokoh-tokoh gereja dalam kurun waktu dua bulan terakhir.
Sebelumnya, pada awal Oktober, Agustinus Duwitau, seorang pewarta yang bertugas di gereja Katolik di Emondi, Distrik Sugapa, tertembak di bagian bahu kirinya.
Baca juga: Kontras Minta Komnas HAM hingga Ombudsman Awasi Temuan TGPF soal Pendeta Yeremia
Menurut data Amnesty International Indonesia, sepanjang tahun 2018 hingga 2020, telah terjadi setidaknya 47 kasus pembunuhan yang diduga dilakukan oleh otoritas negara yang menewaskan 96 korban jiwa.
Dari jumlah tersebut, hanya empat kasus yang sampai ke pengadilan dengan dua di antaranya adalah pengadilan militer yang tertutup untuk publik.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.