Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kisah Nelayan Tradisional Sungai Kampar Bertahan Hidup di Tengah Pandemi

Kompas.com - 02/11/2020, 05:00 WIB
Idon Tanjung,
Dony Aprian

Tim Redaksi

Letak gubuknya ini tak jauh dari jembatan kembar yang merupakan jalan lintas sumatera, sekitar 34 kilometer dari Kota Pekanbaru.

Tebing dibagian depan gubuknya sudah longsor akibat tergerus banjir tahun 2018 silam.

Di gubuk berdinding papan 2x2 meter itulah Kadindin menghabiskan sisa hidupnya.

Gubuk itu sewaktu-waktu bisa saja ambruk atau hanyut. Pasalnya, aliran Sungai Kampar hampir setiap tahun meluap hingga menyebabkan banjir.

Meski beberapa kali diterjang banjir, beruntung gubuk Kadindin masih selamat.

Malam-malam yang dingin ia lewati sendiri. Tak ada pula lampu listrik di gubuk itu. Malam hari hanya cahaya lampu pelita yang menemaninya.

Ternyata, ia sudah lama berpisah dengan istrinya.

"Saya sudah sepuluh tahun pisah sama istri," sebut Kadindin saat berbincang dengan Kompas.com.

Sambil merajut jala, ia mengatakan empat orang anaknya, tiga laki-laki dan satu perempuan, kini tinggal di tempat saudaranya.

Dua orang anaknya masih sekolah menengah atas (SMA), sedangkan dua lagi sudah tamat. Sesekali anaknya datang ke gubuk mengantar makanan.

Kadindin mengaku tidak punya rumah tempat tinggal.

"Rumah saya tak punya. Di pondok ini lah saya tinggal sendiri sudah dua tahun. Itu pun di sini saya cuma menumpang. Pondok dan tanah ini punyanya mendiang Bupati Kampar, Pak Aziz Zaenal," kata Kadindin.

Pakai peralatan tradisional

Kadindin satu dari puluhan nelayan yang mencari ikan di aliran Sungai Kampar.

Penangkapan ikan dilakukan dengan cara tradisional. Bermodalkan sampan kayu untuk mengarungi sungai.

Sungai tempatnya mencari ikan memiliki kedalaman sekitar lima hingga delapan meter, sedangkan lebarnya sekitar 300 meter.

"Di Desa Kuapan ini ada sekitar 40 orang nelayan aktif. Nangkap ikan kami menggunakan jala, pukat, pancing, dan juga menembak dengan cara menyelam ke dasar sungai," akui Kadindin.

Kadindin sendiri mengaku tak ada jadwal untuk mencari ikan. Kapan saja dia bisa masuk ke sungai membawa peralatannya.

Tapi, biasanya dia lebih sering cari ikan mulai subuh hingga pukul 10.00 WIB. Kemudian, sore harinya jam 15.00-18.00 WIB.

"Ya, kalau jadwalnya enggak ada. Kalau cuaca bagus saya cari ikan. Kalau air dangkal seperti sekarang, saya juga pasang pancing rawai," cerita Kadindin.

Saat ini, ia mengaku tangkapan ikan berkurang. Penyebabnya, menurut Kadindin, karena cuaca tak menentu.

Pada saat musim hujan, air sungai naik, sehingga cari ikan agak susah. Tangkapan lebih banyak di waktu air surut.

Ikan-ikan yang didapat bermacam jenis. Yang berkualitas dan harganya tinggi, seperti baung, geso, hampala, termasuk kepiek, ikan khas Sungai Kampar.

"Kadang ada juga udang gala. Harga udang memang mahal, harganya Rp 120.000 perkilogram, tapi nyarinya susah sekali. Dapatnya cuma sesekali. Sekarang ini tak hanya udang yang susah dicari, tapi ikan juga lagi payah," akui Kadindin.

"Selama corona ini ikan pun jaga jarak sama kita," imbuhnya berseloroh.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com