Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Hidup Berdampingan dengan Bencana di Lereng Gunung Merapi

Kompas.com - 28/10/2020, 16:03 WIB
Kontributor Magelang, Ika Fitriana,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

MAGELANG, KOMPAS.com - "Bencana" sebuah kata menakutkan bagi sebagian besar orang. Tidak terkecuali bagi masyarakat di lereng Gunung Merapi wilayah Kabupaten Magelang, Jawa Tengah.

Mereka tentu akrab dengan bencana khususnya erupsi Gunung Merapi.

Erupsi seperti sebuah siklus yang pasti terjadi, sehingga ada frasa "merapi tak pernah ingkar janji" untuk gunung di perbatasan Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta.

Satu dekade yang lalu, gunung api teraktif di dunia ini mengalami peningkatan aktivitas kegunungapian yang tinggi.

Tepat pada Oktober 2010, terjadi erupsi eksplosif yang menyebabkan ratusan orang tewas dan ribuan orang mengungsi.

Baca juga: Aktivitas Merapi Meningkat, Bupati Magelang Minta Jalur Evakuasi Diperiksa

Saat ini, teknologi memudahkan seseorang atau lembaga yang menangani kegunungapian bisa mendeteksi aktivitas vulkanis Gunung Merapi.

Dengan deteksi lebih dini maka akan mengurangi risiko bencana.

Jauh sebelum ada teknologi, masyarakat setempat memiliki "early warning system (EWS)" alam yang dipercaya sebagai tanda-tanda akan terjadi sebuah peristiwa dari Gunung Merapi.

Seperti di Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, masyarakat percaya jika ada sekelompok kupu-kupu kuning terbang dari arah selatan (bawah) ke utara (atas/gunung Merapi) maka tidak lama lagi banjir lahar hujan atau lahar dingin.

"Sejauh ini masih ada warga yang percaya, jika ada gerombolan kupu-kupu kuning terbang dari arah selatan ke arah gunung Merapi, itu pertanda alam akan terjadi banjir lahar hujan atau lahar dingin dalam waktu dekat," ungkap Ahmad Muslim, tokoh masyarakat Desa Srumbung, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang, belum lama ini.

Gunung Merapi.KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Gunung Merapi.

Tanda alam lainnya seperti banyak pohon tumbang karena terlalu berat menahan abu vulkanik juga menjadi "EWS" yang diwaspadai warga.

Terlebih jika saat tumbang disertai dengan suara mirip petasan maka warga harus sudah evakuasi diri.

"Sebelum erupsi biasanya akan terjadi peningkatan aktivitas, ditandai dengan hujan abu. Kalau abu masih tipis tidak sampai merobohkan pohon, warga biasanya masih beraktivitas normal. Tapi kalau pohon sudah banyak yang roboh karena terlalu berat menahan abu, lalu ada suara seperti letusan mercon (petasan) warga akan bersiap evakuasi," papar Muslim.

Baca juga: Erupsi Merapi 10 Tahun Lalu, Pandu Kenang Saat Terobos Hujan Abu untuk Antarkan Oksigen

Seiring waktu, masyarakat kini sudah terbantu dengan teknologi informasi.

Peningkatan aktivitas Merapi disampaikan oleh pihak berwenang melalui berbagai media yang mudah dijangkau masyarakat, seperti whatsapp, media sosial, hingga televisi.

Apalagi dibantu oleh Organisasi Pengurangan Risiko Bencana (OPRB) yang sudah dibentuk di beberapa wilayah di Kabupaten Magelang.

"Ketika status naik, OPRB dan perangkat desa akan langsung mengingatkan warga agar bersiap diri. Mengamankan surat-surat penting, kebutuhan penting, dan lainnya. Sehingga ketika saatnya harus evakuasi warga sudah siap," imbuh Muslim.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com