KOMPAS.com - Beberapa pemerintah daerah masih menutup sebagian besar sekolah seiring terus bertambahnya jumlah kasus positif Covid-19. Ini artinya, proses belajar mengajar tetap dilakukan secara daring.
Tidak bisa dipungkiri, kebijakan ini memberikan beban lebih kepada orang tua siswa. Lalu, bagaimana dengan orang tua penyandang disabilitas?
Popon Siti Latipah, salah satunya. Popon dan suaminya, Irvan Arimansyah, adalah pasutri tunanetra yang dikaruniai seorang anak perempuan dengan kondisi mata yang sehat.
Baca juga: KPU Kota Semarang Sediakan 3.447 Alat Bantu Huruf Braille untuk Pemilih Tunanetra
Anak mereka, Aksa (bukan nama sebenarnya untuk melindungi identitasnya), mengenyam pendidikan di salah satu sekolah dasar di Kota Bandung. Selama belajar daring, anak usia delapan tahun ini hanya didampingi ibunya, Popon.
Bagi seorang tunanetra, mendampingi anak belajar daring bukan perkara gampang. Kondisi penglihatannya yang nol persen, membuat perempuan 34 tahun ini kebingungan menghadapi hari demi hari selama proses pembelajaran jarak jauh (PJJ).
Ia mengaku mengalami tekanan psikologis.
Baca juga: Ishma, Anak Pasangan Tunanetra yang Berprestasi, Sulit Belajar Online karena Ponselnya Dicuri
"[Saya] merasa nggak optimal mengajar anak. Hampir tiap pagi, psikologinya sudah terganggu duluan.'Duh, hari ini ngapain yah? Materinya apa? Bisa nggak yah menyampaikannya?' Itu setiap hari mikir begitu. Ada perasaan waswas," ungkap Popon kepada BBC News Indonesia.
Perasaan waswas muncul lantaran Popon merasa tidak optimal mengajar Aksa. Ia khawatir anaknya bakal tertinggal pelajaran, ketika sekolah kembali dibuka.
"Kalau di sekolah, kita sudah percaya ke gurunya. Paling kita tinggal mengulang. Kalau ini tanggung jawabnya ada di kita, gurunya hanya sekadar mengarahkan.
"Ada kekhawatiran, ketika [kembali] bertatap muka anak kaget dengan materi yang sekarang.
"Di saat kita ingin memberikan yang terbaik buat anak, kita terkendala keadaan," tutur Popon yang merasa kesulitan, bahkan untuk sekadar mengajarkan anaknya membuat garis lurus.
Baca juga: Biaya Sendiri, Tukang Pijat Tunanetra Dirikan Sekolah Gratis bagi Anak Berkebutuhan Khusus
Padahal, anaknya sudah memakai penggaris setiap membuat tabel. Setelah tiga kali ditegur, Popon mengadu ke orang tua murid lain dan disarankan membeli penggaris baru.
"Eh tahunya benar dari penggaris masalahnya. Soalnya aku sekolah, dari kelas 4 SD sampai kuliah, nggak pernah punya pengalaman pakai penggaris. Makanya bingung. Kirain penggaris kalau sudah lama, masih tetap bagus," kata Popon.
Ada terselip rasa minder dalam diri Popon ketika berbicara dengan orang tua murid lain yang nondifabel.
Baca juga: Kisah Agus, Penyandang Tunanetra Dirikan Rumah Belajar Gratis Bagi Anak Berkebutuhan Khusus