Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Siswa yang Nikah Dini di Lombok Tengah Didenda Membayar Sejumlah Uang ke Sekolah, Ini Alasannya

Kompas.com - 28/10/2020, 05:30 WIB
Fitri Rachmawati,
David Oliver Purba

Tim Redaksi

LOMBOK TENGAH, KOMPAS.com- EB (15), siswi SMP 4 Batukliang Utara, Lombok Tengah, NTB, harus membayar denda Rp 2 juta karena menikah di usia dini.

Adapun EB menikah dengan seorang remaja berinisial UD (17) pada 10 Oktober 2020.

Ternyata, denda tersebut tidak hanya berlaku pada EB, tapi seluruh siswa di Lombok Tengah yang juga menikah di usia dini.

Wakil Kepala Kurikulum SMP 4 Batukliang Hamzah mengatakan, sanksi tersebut merupakan kesepakatan wali murid, sekolah, dan komite sekolah di Lombok Tengah sejak 2005 guna mencegah pernikahan dini.

"Kami bahkan meminta mereka menandatangani perjanjian bahwa apabila masih berstatus sekolah, kemudian melangsungkan pernikahan harus membayar denda Rp 2 juta jika tidak mau dipisahkan. Memang sudah merupakan keputusan antara sekolah dengan komite," kata Hamzah kepada Kompas.com, Selasa (27/10/2020).

Baca juga: Tak Sanggup Hidup Susah, Siswi SMP di Lombok Memutuskan Nikahi Remaja 17 Tahun

Dia mengatakan, sebenarnya sekolah tidak berharap mendapatkan denda itu atau dalam kata lain tidak ingin ada siswa yang menikah sebelum pendidikannya selesai.

Segala upaya dilakukan sekolah agar seluruh siswa menamatkan sekolah di tingkat SMP dan melanjutkan ke SMA hingga jenjang yang lebih tinggi.

Baca juga: Saya Bingung Mau Ngapain, 4 Bulan Tak Sekolah, Tak Punya HP, Saya Mau Ketika Dia Ajak Nikah 

Hamzah mengatakan, jumlah sanksi denda ini memang dipatok atau ditentukan sekolah sebesar Rp 2 juta.

Hanya saja tidak bisa kaku menentukan jumlah itu, harus disesuaikan dengan hasil negosiasi pihak keluarga.

Berdampak

Hamzah mengatakan, sejak aturan denda diberlakukan, angka pernikahan siswa di sekolah menurun drastis.

Namun, dua tahun berikutnya atau jelang Ujian Nasional, mulai ada siswa yang menikah. Dalam catatan SMP 4 Batukliang Utara, ada lima siswa yang menikah.

"Dua siswa kelas I dan kelas II, dan tiga siswa menjelang mereka ujian nasional. Saya mencatat itu selama saya mengabdi di SMP ini tahun 2007 silam, " katanya.

Selama masa Covid-19 ini, ada satu kasus pernikahan, yaitu pernikahan EB siswa kelas III SMP.

Hamzah mengakui kasus pernikahan anak usia sekolah tidak bisa diatasi sendiri oleh pihak sekolah.

Dia berharap semua pihak harus membantu termasuk keluarga dan aparat dusun serta tokoh agama.

"Apalagi kita berhadapan dengan adat. Jika perempuan sudah dibawa, aib bagi keluarga perempuan jika dikembalikan atau ditunda pernikahannya," kata Hamzah.

Baginya tokoh adat memiliki peran sangat penting dalam menekan angka pernikahan dini ini.

Tak dibayar

Sekolah lain, yaitu SMKN 1 Kopang juga menetapkan sanksi yang sama bagi siswa mereka.

Salah seorang guru SMKN 1 Kopang, Ary Mayani mengatakan, terkait sanksi ini. biasanya perjanjian antar siswa, orangtua siswa, dan sekolah diberlakukan saat serah terima siswa di PPDB (Penerimaan Peserta Didik Baru).

"Ada surat pernyataan tidak akan menikah saat melangsungkan pendidikan, dan bersedia didenda jika melanggar. Wali murid dan siswa yang tertanda tangani surat pernyataan tersebut. Itu kami lakukan sebagai salah satu upaya menekan angka pernikahan dini dari sekolah," jelasnya.

Kebanyakan tanggung jawab pembayaran denda diserahkan ke pihak wali dari laki-laki jika menikahi siswi di sekolah ini, atau langsung wali laki-laki jika siswa laki-laki yang menikah sebelum tamat.

"Terkadang malah denda itu tidak dibayarkan karena kondisi ekonomi pihak yang melanggar tidak mampu. Sekolah sangat memaklumi karena tujuannya bukan untuk uang, tetapi untuk menekan angka pernikahan usia sekolah," katanya.

Ary menjelaskan, suatu ketika ada seorang siswanya yang hendak menikah. Dia mencoba menemui wali murid dan kepala dusun, berusaha mencari jalan tengah agar siswanya bisa menamatkan sekolah.

"Dan sampai sekarang belum ada kabar lagi, termasuk terkait pembayaran denda. Mungkin siswi kami itu sudah akad nikah," katanya.

Ary sangat sedih ketika ada siswi atau siswanya yang menikah. Kebanyakan perempuan yang terpaksa menikah di usia dini.

"Saya sedih saat bicara dengan dengan mereka, lebih sedih lagi saat mendengar pengalaman siswi saya yang sudah keguguran, mengalami KDRT, dan bercerai," katanya.

Dalam setiap kesempatan, Ary selalu mengingatkan siswa siswinya agar menyelesikan sekolah dan tidak terjebak untuk menikah dini.

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Dinas Pendidikan, Muhammad Nazili mengatakan, sekolah bersama komite sekolah mencoba untuk memproteksi dengan membuat awik-awik atau aturan dengan membuat sanksi denda yang besarannya bervariasi di masing masing sekolah.

Meski sanksi diterapkan, masih saja ada pernikahan di usia sekolah.

"Pemerintah, masyarakat maupun sekolah tidak bisa mencegah kalau sudah terjadi. Banyak persoalan yang menjadi penyebabnya, seperti adat, budaya, dan keluarga," kata Nazili.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com