Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Belajar dari Erupsi 2010, Warga Lereng Merapi Dirikan Komunitas Siaga

Kompas.com - 26/10/2020, 19:36 WIB
Wijaya Kusuma,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

YOGYAKARTA, KOMPAS.com- Gunung Merapi pada 2010 mengalami erupsi besar. Letusan yang terjadi menimbulkan korban jiwa, dan menyebabkan rumah-rumah warga rusak.

Tidak hanya itu, warga juga harus kehilangan ternak dan pertanian mereka.

Peristiwa tersebut dari satu sisi menjadi pengalaman bagi masyarakat lereng Gunung Merapi dalam menghadapi bencana.

Warga lereng Gunung Merapi jadi semakin tangguh dan sadar pentingnya mitigasi bencana.

Baca juga: BPPTKG Sebut Erupsi Merapi Selanjutnya Makin Dekat, Tak Sebesar Letusan 2010

Dari pengalaman tersebut, warga Lereng Merapi di Desa Glagaharjo secara mandiri mendirikan Komunitas Siaga Merapi (KSM).

Bahkan pos pemantauan Gunung Merapi yang dibangun secara mandiri oleh KSM sempat dikunjungi oleh Deputi Bidang Pencegahan Badan Nasional Penanggulan Bencana (BNPB) Lilik Kurniawan.

Gunung Merapi.KOMPAS.com/ANGGARA WIKAN PRASETYA Gunung Merapi.

Pos pemantauan tersebut menjadi salah satu ciri ketangguhan masyarakat dan dapat menjadi contoh bagi daerah lain.

"Habis erupsi 2010, kami warga di Lereng Gunung Merapi itu sadar bahwasanya bencana Merapi itu rutin kan. Entah empat tahun sekali atau 10 tahun sekali, tetapi sesuai kata-kata Merapi tidak pernah ingkar janji," ujar Ketua Komunitas Siaga Merapi (KSM) Desa Glagaharjo, Rambat Wahyudi saat ditemui di Hunian Tetap (Huntap) Banjarsari, Desa Glagaharjo, baru-baru ini.

Wahyudi menyampaikan kesadaran masyarakat terkait dengan mitigasi bencana Gunung Merapi di Glagaharjo masih sangat kurang.

Baca juga: Intensitas Kegempaan Gunung Merapi Meningkat, Status Masih Waspada

Terbukti, saat erupsi Gunung Merapi pada tahun 2010 lalu, banyak jatuh korban jiwa di Glagaharjo.

Dari pengalaman tersebut, beberapa warga di Glagaharjo merasa pentingnya mitigasi bencana khususnya Gunung Merapi.

Ketua Komunitas Siaga Merapi (KSM) Desa Glagaharjo, Rambat Wahyudi (39)KOMPAS.COM/YUSTINUS WIJAYA KUSUMA Ketua Komunitas Siaga Merapi (KSM) Desa Glagaharjo, Rambat Wahyudi (39)
Sebab mereka tinggal di lereng gunung yang aktif. Beberapa warga kemudian pada 2011 mendirikan Komunitas Siaga Merapi (KSM) Desa Glagaharjo.

"Berawal dari situ kami bersama warga yang peduli, mendirikan komunitas yang intinya menyadarkan warga masyarakat bahwa mitigasi bencana itu penting," ucapnya.

Dari awal berdiri, Komunitas Siaga Merapi (KSM) bergerak untuk memberi edukasi kepada masyarakat terkait mitigasi bencana.

Wahyudi mengaku, tidak mengalami kesulitan dalam mengedukasi masyarakat.

Baca juga: Belajar Hidup Selaras dengan Alam dari Warga Lereng Gunung Merapi

Sebab, masyarakat Glagaharjo mempunyai pengalaman mengalami peristiwa erupsi Gunung Merapi 2010.

"Alhamdulilah tidak ada kesulitan, karena kami, warga juga kan mengalami sendiri. Warga sangat senang dan support sekali," ungkapnya.

Selain itu KSM juga membuat rambu-rambu jalur evakuasi, termasuk titik-titik kumpul bagi masyarakat.

Alhasil, saat ini warga sudah paham harus berbuat apa ketika harus mengungsi, termasuk apa saja yang dibawa.

"Sembilan tahun ini kami berdiri, alhamdulilah sudah berhasil menyadarkan warga. Jadi warga sudah paham, mereka sudah berkemas-kemas untuk barang-barang berharga, nanti mengungsi harus kemana, titik kumpul sudah kita petakan, warga tinggal kumpul, kita siapkan sarana evakuasi," sebutnya.

Tempat wisata di Boyolali bernama Bukit Sanjaya yang menawarkan pemandangan Gunung Merapi.dok. Bukit Sanjaya Tempat wisata di Boyolali bernama Bukit Sanjaya yang menawarkan pemandangan Gunung Merapi.

Pada 2018, Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta menaikan status Gunung Merapi dari normal menjadi waspada (level II).

Sejak itu KSM secara mandiri turut aktif memantau Gunung Merapi di Kalitengah Lor, Desa Glagaharjo, Cangkringan, Sleman dengan mendirikan tenda.

"Awalnya Kami mendapat bantuan tenda dari BPBD. Kami memantau siang, malam, hujan, panas ya di bawah tenda," urainya.

Baca juga: Cerita Petani Kopi di Lereng Gunung Merapi, Erupsi Jadi Berkah

Seiring berjalannya waktu, ada pemikiran untuk membangun pos pengamatan yang permanen, sebab tenda juga tidak tahan lama. Karena terkena panas dan hujan, tenda banyak yang berlubang.

Hal itu membuat orang yang bertugas berjaga menjadi tidak nyaman.

Tempat ngopi dengan pemandangan Gunung Merapi bernama Warung Kopi Merapi di Yogyakarta.dok. Instagram @kopimerapi_ Tempat ngopi dengan pemandangan Gunung Merapi bernama Warung Kopi Merapi di Yogyakarta.
KSM bersama warga Desa Nglagaharjo kemudian bergotong-royong untuk membangun pos pemantauan secara mandiri.

Pembangunan juga dibantu oleh pemerintah Kecamatan Cangringan.

"Dari situ kami bersama-sama di bantu warga Kalitengah Lor, Kalitengah Kidul, sama Srunen, ya ada yang bantu batu, ada yang pasir. Banyak warga yang peduli membangun pos pemantauan secara mandiri, ya Alhamdulilah bisa berdiri," tegasnya.

Baca juga: Hidup Penuh Berkah di Lereng Gunung Merapi

Pos Pemantauan yang dibangun terdiri dari dua lantai. Aktivitas pengamatan dilakukan dari lantai dua.

"Ada warga juga yang membantu WiFi juga. Saya tidak meminta, tetapi mereka membantu memasang WiFi, membayar WiFi, membantu pagar juga, saya sangat berterima kasih dengan warga-warga yang di sana," ungkapnya.

Rambat Wahyudi menuturkan saat ini ada 50 orang yang tergabung dalam Komunitas Siaga Merapi (KSM) Glagaharjo.

Mereka secara bergantian bertugas di pos untuk melakukan pemantauan aktivitas Gunung Merapi.

"Kita melakukan pemantauan secara visual selama 24 jam, setiap piket ada lima orang. Kita juga ada sirine, jadi kalau erupsi sirinenya dibunyikan sebagai tanda dan kemarin sudah kita coba juga saat erupsi," bebernya.

Menurutnya, setelah ada pos pemantauan warga merasa lebih tenang. Sebab, selama 24 jam, ada yang memantau aktivitas Gunung Merapi meski hanya secara visual.

"Warga senang, berterima kasih dan support, bahkan sering kali ada yang datang ke pos membawa teh, dan makanan untuk teman begadang. Ya suport mereka seperti itu," bebernya.

Meski memantau secara visual, KSM juga memperhatikan setiap informasi terkait Gunung Merapi dari Balai Penyelidikan dan Pengembangan Teknologi Kebencanaan Geologi (BPPTKG) Yogyakarta.

"Kami selalu berkoordinasi dan memantau informasi BPPTKG. pemantauan visual kan kalau kelihatan, tapi kalau tertutup kabut ya memantau sinyal seismik di HT," ungkapnya.

Baca juga: Petani Sayur Merapi: Daripada Busuk Sia-sia, Lebih Baik Disedekahkan

Disampaikannya, hampir setiap warga di Glagaharjo memiliki Handy Talkie (HT). Mereka membeli HT dengan menggunakan uang pribadi sebagai alat komunikasi.

"Ya untuk komunikasi dan mendengarkan informasi, termasuk informasi aktivitas Gunung Merapi. Selain tidak perlu pulsa, karena disini sinyal juga bisa dibilang sulit," tuturnya.

Menurutnya dengan segala upaya mitigasi bencana yang dilakukan. Termasuk membangun kesadaran warga tujuanya agar ketika terjadi bencana bisa meninimalisir jumlah korban.

"2010 di sini (korban) hampir 17 an orang lebih. Target kami, memang zero korban jika misalnya ada erupsi lagi, kami terus aktif memberikan sosialisasi," tegasnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com