SEMARANG, KOMPAS.com - Jaringan Anti Kekerasan Seksual Jateng-DIY Dian Puspitasari menilai, tingginya angka kasus kekerasan seksual karena tidak adanya payung hukum untuk melindungi korban kekerasan seksual.
Berdasarkan hal tersebut pihaknya terus mendorong pemenuhan hak perempuan korban kekerasan seksual.
"Kami mendesak DPR-RI untuk membahas RUU PKS agar kembali menjadi Undang-Undang Prioritas pada Prolegnas tahun 2021," ujarnya kepada wartawan, Minggu (25/10/2020).
Baca juga: Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Sering Mandek, Komnas Perempuan Sebut Ada Perbedaan Cara Pandang
Menurutnya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dapat melindungi hak-hak korban untuk mengakses keadilan, sehingga korban mendapatkan proses keadilan yang berkeadilan.
Selain itu, UU tersebut juga mencakup pencegahan, penanganan, perlindungan dan pemulihan korban serta pemidanaan pelaku.
Dia menyesalkan, Badan Legislasi DPR RI justru mengeluarkan RUU PKS dari Prolegnas Prioritas tahun 2020 berdasarkan keputusan Komisi VIII DPR RI.
"Artinya, negara belum memiliki komitmen yang serius untuk melindungi korban kekerasan seksual," tegasnya.
Baca juga: Korban Kekerasan Seksual Sering Disalahkan, Kowani Dorong RUU PKS
Komnas Perempuan mencatat sebanyak 2.525 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi di wilayah Jawa Tengah dalam catatan tahunan (catahu) tahun 2019.
Modus kekerasan perempuan tersebut bentuknya semakin beragam di antaranya kekerasan seksual seperti perkosaan, pelecehan seksual, perbudakan seksual, kekerasan seksual yang terjadi dalam rumah tangga, kekerasan seksual berbasis online atau cyber sex, dan sebagainya.
Dewan Pengarah Nasional Forum Pengada Layanan (FPL) Jateng-DIY Harti Muchlas menyebut berbagai hambatan yang dialami oleh korban kekerasan seksual dalam mengakses keadilan.
"Tak jarang korban kekerasan seksual berujung didamaikan dengan pelaku atau malah justru dikawinkan oleh oknum aparat penegak hukum, aparat pemerintah setempat dan masyarakat," jelasnya.
Selain itu, kata dia, hambatan adanya penolakan laporan korban kekerasan seksual karena dianggap bukan kejahatan dan ketiadaan saksi maupun bukti.
"Kemudian mandeknya proses penyidikan karena hambatan pembuktian, putusan pengadilan yang tidak adil bagi korban, dikeluarkan atau diminta mengundurkan diri dari sekolah, pekerjaan dan sebagainya," ucapnya.
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.