Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karut-marut Hilirisasi Riset di Indonesia

Kompas.com - 24/10/2020, 11:27 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Penurunan ini tentunya mengganggu. Namun untungnya Yayasan menyediakan dana lebih untuk penelitian Covid-19.

Kebutuhan industri

Vice President Divisi Pengembangan Teknologi PT Len Industri, Tarmizi Kemal F Lubis mengatakan, selama ini perguruan tinggi dan industri kerap jalan sendiri-sendiri, sehingga tidak bisa cocok.

Makanya harus dimulai dari BRIN dan Bapenas untuk menggambarkan kebutuhan pemerintah selama 5-10 tahun ke depan.

Setelah itu, lembaga penelitian, perguruan tinggi, industri bisa duduk bareng mengenai riset yang akan dikembangkan bersama-sama.

Sebab selama ini pihaknya hanya mengandalkan informasi tender. Sehingga waktunya sangat pendek, apalagi untuk tender single year.

“Kami sudah beker jasama dengan perguruan tinggi dan lembaga penelitian, ada yang laku di pasaran ada juga yang tidak laku,” tutur dia.

Misalnya LTE 4G hasil kerja sama dengan ITB, namun belum diserap operator. Kemudian pengembangkan Len smart DC sistem yang menghasilkan listrik di daerah 3T.

Yang dibutuhkan industri adalah kepastian pasar ke depan serta dukungan sertifikasi dan pengujian. Seperti untuk perkeretaapian, Len dibantu BPPT.

Untuk dana riset sendiri, Len menyiapkan dana yang cukup agresif. Dari tahun 2009-2019 mencapai Rp 109 miliar.

Pihaknya juga mendapat dukungan pemerintah seperti dana riset dari Kementerian Pertahanan dan Kemenristek.

“Kalau dilihat dari margin keuntungan, (dana riset) kita hampir 10 persen dari margin. Kita cukup agresif,” tutur dia.

Riset inovasi

Direktur Jenderal Deputi Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inobasi Nasional (BRIN), Muhammad Dimyati mengakui belum optimalnya hilirisasi riset.

Ia mencatat ada lima persoalan riset inovasi di Indonesia. Di antaranya banyak riset yang tidak bisa ditindaklanjuti industri. Riset berhenti di komunitas mereka jadi publikasi dan tidak menghasilkan benefit untuk masyarakat.

“Kurang dari 10 persen yang terdorong untuk ditindaklanjuti (hilirisasi),” ungkap Dimyati.
Selain itu, anggaran riset Indonesia hanya 0,25 persen/GDP, itupun didominasi pemerintah sebanyak 80 persen. Berbeda dengan Singapura yang lebih dari 1 persen atau Jepang 3,28 persen/GDP.

“Dua tahun lalu, dana riset di Indonesia Rp 27 triliun termasuk gaji, perjalanan, dan lainnya. Untuk dana risetnya sendiri Rp 11,9 tiliun,” ungkap dia.

Dimyati mengungkapkan, berbagai upaya terus dilakukan untuk menciptakan ekosistem riset yang baik di Indonesia. Salah satunya melalui UU No 11 Tahun 2019 tentang Sisnas Iptek.

Salah satu yang dibahas dalam UU tersebut adalah insentif pengurangan pajak 300 persen untuk swasta yang mengeluarkan biaya penelitian.

Pihaknya juga berupaya memperbesar dana abadi yang kini jumlahnya baru Rp 6 triliun. Tujuannya untuk mengurangi ketergantungan pada APBN.

Baca juga: Membanggakan, Para Alumni ITB Ini Bikin Robot untuk Operasi Jantung Jarak Jauh

Untuk publikasi ilmiah sendiri, Indonesia mengalami peningkatan. Pada 2015 (8.263 artikel), 2016 (12.295 artikel), 2017 (20.239 artikel) dan 2018 (30.017 artikel).

Sedangkan paten yang didaftarkan di negara-negara ASEAN mencapai 1.058 pada 2015. Meningkat pada 2016 menjadi 1.101. Kemudian di 2017 menjadi 2.271 dan 2018 menjadi 2.842 paten.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com