Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karut-marut Hilirisasi Riset di Indonesia

Kompas.com - 24/10/2020, 11:27 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

Meningkatnya jurnal ilmiah

Direktur Direktorat Riset dan Pengabdian pada Masyarakat (DRPM) Universitas Padjadjaran (Unpad) Rizky Abdullah mengakui belum banyak penelitian Unpad yang dihilirisasi.

Sebab, peneliti Unpad dan Indonesia umumnya dalam tahap belajar mengubah mindset dari belajar menjadi meneliti. Hal itu dimulai saat Unpad menjadi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum (PTNBH) tahun 2016.

“Tahun 2014, publikasi internasional bereputasi kami kurang dari 150 per tahun. Sekarang sudah lebih. Bahkan tahun lalu 1.300 publikasi per tahun,” tutur dia.

Baca juga: Setelah Ciptakan Vent-I, Salman ITB Dirikan Lembaga Inovasi Terbuka

Selain itu, jumlah paten yang didaftarkan meningkat tajam. Dulu hanya lima paten, tahun lalu ada 50 paten yang telah didaftarkan.

Sedangkan produk yang sudah dikomersialisasi kurang dari 5 persen, di antaranya pupuk hayati yang dikerjasamakan dengan Pupuk Kujang, kemudian Vent-I dan rapid test antigen.

Ia melihat ada beberapa tantangan yang harus diselesaikan. Pertama, persoalan dana riset. Unpad mendapat Rp 30 miliar hingga Rp 35 miliar dari Kementerian.

Jumlah itu tidak bisa membiayai semua penelitian dosen. Untungnya ada dana tambahan dari PTNBH. Jumlahnya 25 persen dari anggaran perguruan tinggi.

Untuk meningkatkan riset dasar ke terapan kemudian pengembangan produk dan komersialisasi, DRPM dibagi dua, yakni bagian hulu dan hilir.

Pada bagian hilir ini, dibentuk inkubator bisnis sekaligus perusahaan yang didirikan Unpad. Di sini, mereka akan mengidentifikasi riset potensial hilirisasi hingga pembagian profit.

Agar ekosistem berjalan optimal, ia mengusulkan pembagian peran hampir 4.000 perguruan tinggi di Indonesia.

Ada yang teaching university dan research university seperti di luar negeri.

Pertumbuhan penelitian juga terjadi di ITB. Bisa dibilang, pencapaian kampus ini dalam jurnal internasional terindeks Scopus tinggi.

Sekretaris Bidang Penelitian LPPM ITB Rino R Mukti mengatakan, pada 2010, jurnal ilmiah yang menembus Scopus sebanyak 342. Jumlah itu terus meningkat, hingga 2019 mencapai 2.522 jurnal.

Paten juga memperlihatkan pertumbuhan. Pada 2005, jumlah paten terdaftar sebanyak 9, sedangkan 2019 mencapai 117 paten.

“Namun, baru 3-4 persen kekayaan intelektual yang bisa dikomersialisasikan,” tutur Sekretaris Bidang Inovasi dan Transfer Teknologi LPIK ITB, Rofiq Iqbal.

Untuk bisa menembus industri, ada dua beberapa langkah yang ditempuh ITB. Pertama, bekerja sama dengan perusahaan sebelum penelitian berjalan.

Kedua, mendorong dan membantu pembuatan start up untuk mengomersialisasikan produknya. Program ini sudah berhasil dilakukan beberapa mahasiswa.

Gaet industri

Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Islam Bandung (Unisba) Prof Atie Rachmiatie, mengungkapkan sulitnya menembus industri.

Padahal pemerintah akan mengurangi 300 persen pajak industri tersebut jika bekerja sama dalam riset.

“Apakah industri tahu? Apakah sudah diterapkan?” tutur Atie.

Ketika industri besar belum bisa diraih, Unisba menggaet beberapa industri kecil untuk hilirisasi riset.

Seperti pengembangan markisa di salah satu desa di Kabupaten Kuningan.

Atie mengungkapkan, Unisba mendapat dana riset Rp 4,7 miliar pada 2017-2018 dari BRIN. Kemudian turun menjadi Rp 3 miliar. Lalu turun lagi karena Covid-19 menjadi Rp 2,3 miliar.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com