Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Karut-marut Hilirisasi Riset di Indonesia

Kompas.com - 24/10/2020, 11:27 WIB
Reni Susanti,
Farid Assifa

Tim Redaksi

BANDUNG, KOMPAS.com – Bachti Alisjahbana mengenang pengalamannya bertugas di salah satu puskesmas di Kabupaten Jaya Wijaya, Provinsi Papua, 2008 silam.

Berbeda dengan Jawa, tanah Papua gelap gulita. Tak ada listrik. Satu-satunya aliran listrik di sana berasal dari solar panel untuk lemari es vaksin.

Tak heran, jika puskesmas adalah satu-satunya tempat yang terang di daerah tersebut. Sisa listriknya ia manfaatkan untuk membuat laboratorium yang dibutuhkan saat memeriksa malaria.

Di tempat ini pula, Bachti dan temannya yang bekerja di bidang diagnostik, Sukwan, menciptakan rapid test antigen.

“Alasannya sederhana, karena kita butuh rapid test dan alat tersebut sulit diperoleh (di Papua),” tutur dokter spesialis penyakit dalam ini kepada Kompas.com di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS), akhir September 2020.

Bachti dan rekannya tidak hanya meneliti. Mereka membuat start up dengan bantuan orangtua Bachti untuk memproduksi rapid test antigen yang sempat diremehkan sejumlah pihak.

“Bikin rapid test tidak sulit. Kita punya penyakitnya, kumannya, tapi tidak ada produsen antigen dan antibodi di Indonesia,” ungkap dia.

Baca juga: Setelah Ciptakan Ventilator Portabel Vent-I, Peneliti ITB Kembangkan Penyedot Aerosol hingga Inkubator

Jadi, mereka mengimpor antibodi dan antigen untuk diujikan ke pasien. Kalau hasilnya bagus, bisa dijual. Kalau tidak, kembali mengambil antibodi dan antigen dari luar negeri.

Setahun kemudian, produk selesai dan ia mengurus izin edar. Begitu memasuki distribusi, pemerintah membiarkan produk lokal bersaing langsung dengan produk impor.

Akibatnya, produknya sempat kurang diminati karena harga jual yang lebih mahal dibanding produk asing.

Publikasi ilmiah

Namun, tidak semua hasil penelitian berhasil dihilirisasi. Ada banyak penelitian Bachti dan rekan-rekannya berakhir di publikasi ilmiah.

Salah satu penelitian yang tidak berhasil dihilirisasi adalah foto toraks yang bisa digunakan untuk memindai tuberkulosis (TB). Sebab, banyak pasien TB tidak mengeluarkan gejala seperti Covid-19.

Namun, penelitian itu gagal menembus Kementerian Kesehatan, walaupun rumah sakit swasta sudah menerapkannya.

Pemerintah bersikukuh pemindaian TB haus melalui pemeriksaan dahak, meskipun tidak bisa mendeteksi orang yang tanpa gejala.

“Karena harganya murah. Tapi kemudian pemerintah akan membeli alat pemeriksa dahak molekular, yang harganya jauh lebih mahal dibanding toraks,” ungkap dia.

Ia melihat, Kementerian Kesehatan tahu manfaat foto rontgen ini untuk pasien TB, tetapi mereka bingung harus berbuat apa.

Ketidaksinkronan antara peneliti dan penerima manfaat hanya salah satu masalah minimnya hilirisasi riset.

Turunkan arogansi

Sebagai seorang peneliti dan praktisi, ia melihat persoalan lain mengapa hilirisasi tidak berjalan optimal, yakni tidak menyambungnya industri dengan peneliti.

Company tertarik di mana, peneliti tertarik hal lain, jadi enggak nyambung. Dua-duanya harus menurunkan arogansi dan saling bicara sebelum penelitian, karena marketing lebih sulit ketimbang produksi,” tutur dia.

Pemerintah pun harus lebih mencanangkan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN), sehingga industri mau tidak mau mencari produk dalam negeri.

Hal serupa diceritakan Syarif Hidayat, peneliti Institut Teknologi Bandung (ITB) penginisiasi Ventilator Indonesia (Vent-I).

Sebagai seorang peneliti, ia bisa membuat ventilator yang lebih canggih. Namun, yang dibutuhkan masyarakat adalah Vent-I, sehingga ia menurunkan egonya.

“Itu yang membuat banyak penelitian tidak bisa dihilirisasi, egoisme peneliti masih sangat besar. Padahal, masyarakat tidak membutuhkannya,” ucap dia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com