Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Tolak UU Cipta Kerja, Ketum PBNU Sebut Banyak Pasal Merugikan Masyarakat

Kompas.com - 23/10/2020, 13:55 WIB
Setyo Puji

Editor

 

Terkait sektor minerba, dalam regulasi itu juga memberikan keleluasaan para pengusaha untuk mengeksploitasi sumber daya alam.

Pasalnya, perpanjangan perizinan dapat dilakukan secara terus menerus tanpa adanya batas waktu.

"Kalau di undang-undang yang dulu selama dua kali perpanjang. Sekarang batasan dua kali sudah tidak ada. Artinya penambang itu seumur hidup asal diperpanjang setiap 10 tahun," jelasnya.

Baca juga: Saat Buruh Tak Lagi Percaya dengan Mahkamah Konstitusi, Ini Alasannya

Belum lagi masalah ketahanan pangan, dalam regulasi itu pemerintah dan DPR justru memperbesar peluang impor dan tumbuhnya kartel pangan.

Padahal, Indonesia merupakan negara agraris yang mestinya melakukan pemberdayaan kepada para petani dalam negeri agar dapat meningkatkan produktivitasnya.

"Sumber pangan adalah (di UU Cipta Kerja) produksi nasional dalam negeri, cadangan nasional dan impor. Undang-undang yang dulu bukan dan, (produksi dalam negeri dan impor) Beda pasal, beda ayat. Kalau tidak terpenuhi, baru impor," jelasnya.

"Sekarang tidak, sumber pangan adalah produksi dalam negeri, cadangan nasional, dan impor. Ini artinya dibuka lebar-lebar pintu impor yang akan dimanfaatkan segelintir orang importir," imbuhnya.

Siapkan uji materi ke MK

Dengan banyaknya sejumlah pasal yang justru berpotensi merugikan masyarakat tersebut, pihaknya mengaku PBNU akan melakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).

"Itu yang masih akan kita usulkan ke Mahkamah Konstitusi," jelasnya.

Pihaknya menilai, metode uji materi ke MK dianggap lebih elegan jika dibanding turun ke jalan.

Meski penyampaian aspirasi dengan cara melakukan unjuk rasa juga dilindungi UU, namun ia menganggap saat ini bukan waktu tepat. Apalagi sedang dalam kondisi pandemi corona.

"Turun ke jalan atau demonstrasi itu bukan solusi yang tepat. Justru mudharat-nya (dampak buruknya) akan lebih besar. Tapi sikap penolakan ini kita lakukan dengan elegan bahwa ada beberapa poin yang masih merugikan kita," tandasnya.

Penulis : Kontributor Malang, Andi Hartik | Editor : Dheri Agriesta

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com