Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sederet Kisah Warga di Perbatasan, Hidup Terisolasi dan Bergantung dengan Alam

Kompas.com - 19/10/2020, 05:30 WIB
Setyo Puji

Editor

KOMPAS.com - Meski sudah 75 tahun Indonesia merdeka, tapi nyatanya belum semua warga merasakan dampaknya secara berarti.

Salah satunya, bagi mereka yang kini tinggal di wilayah perbatasan.

Ketimpangan pembangunan yang terjadi di wilayah tersebut masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah yang hingga saat ini belum berhasil teratasi.

Akibat kurangnya perhatian itu, tak sedikit warga di perbatasan yang sekarang masih hidup secara terisolasi.

Jalanan penuh lumpur, tidak adanya jaringan listrik, hingga minimnya fasilitas kesehatan dan pendidikan menjadi keprihatinan tersendiri.

Dengan segala keterbatasan tersebut tak banyak yang bisa mereka lakukan selain hanya mengandalkan hidupnya dengan alam.

Berikut ini sederet kisah mereka yang tinggal di perbatasan.

Jeritan warga Krayan

Kondisi jalan desa Bungayan dari jalan ini dewa Wa Yagung masih harus ditempuh 8 jam berjalan kaki jalanan penuh lumpur sepanjang rute dalam hutan menuju wa yagung membuat masyarakat setempat menamainya jalan kerbau (KPU Nunukan)Kompas.com/Ahmad Dzulviqor Kondisi jalan desa Bungayan dari jalan ini dewa Wa Yagung masih harus ditempuh 8 jam berjalan kaki jalanan penuh lumpur sepanjang rute dalam hutan menuju wa yagung membuat masyarakat setempat menamainya jalan kerbau (KPU Nunukan)

Kehidupan warga yang tinggal di Dataran Tinggi Krayan, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Utara, kini semakin terhimpit.

Hal itu seiring dengan kebijakan pemerintah Malaysia yang menerapkan lockdown akibat pandemi corona.

Akibatnya, sejumlah komoditas barang di daerah tersebut sekarang melambung tinggi.

Dari informasi yang dihimpun, gula pasir yang sebelumnya hanya dijual seharga Rp 13.000 per kilogram kini naik menjadi Rp 45.000 per kilogram, semen yang biasanya Rp 300.000 per sak kini menjadi Rp 1,5 juta per sak.

"Demikian juga dengan kebutuhan pokok lain, rata-rata naik beberapa kali lipat," kata Sekretaris Jenderal Lembaga Adat Dayak Lundayeh, Gat Khaleb, saat dihubungi Kompas.com. Sabtu (17/10/2020).

Baca juga: Jerit Warga Perbatasan, Hidup Makin Sulit Sejak Malaysia Lockdown

Menurut Gat, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari itu warganya memang selama ini lebih banyak mengandalkan pasokan barang dari Malaysia.

Pasalnya, dianggap lebih mudah dijangkau. Sebab, meski tinggal di wilayah Indonesia namun secara geografis mereka terisolasi dengan daerah lain. Hal itu karena tidak adanya akses infrastruktur jalan yang memadai.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com