KOMPAS.com - Polisi membantah telah terjadi penembakan seorang mahassiwa saat aksi demo tolak Undang-Undang Cipta Kerja di depan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Baubau, Sulawesi Tenggara.
“Dugaan bahwa luka tersebut adalah bekas luka tembak atau peluru karet, sama sekali tidak benar. Tidak benar,” kata Kapolres Baubau AKBP Zainal Rio Candra Tangkari saat konferensi pers di kantornya pada Jumat (16/10/2020).
Hal itu menanggapi terkait laporan dari salah satu peserta aksi, Nur Sya'ban yang juga Wakil Ketua BEM Fakultas Hukum Unidayan.
Menurut kuasa hukum korban, LBH Pospera, kliennya mengalami sejumlah tindak kekerasan saat aksi tolak UU Cipta Kerja pada Jumat (9/10/2020).
Baca juga: Demo Tolak Omnibus Law di Baubau Ricuh, 1 Mobil Dibakar dan 2 Mahasiswa Terluka
LBH Pospera juga memberitahukan bahwa secara resmi laporan telah dibuat atas dugaan penganiayaan dengan senjata api dengan Laporan Polisi Nomor :LP/413/X/RES.7.4/2020/RES.BAU-BAU telah dimasukkan pada tanggal 14 Oktober 2020.
“Senjata api seharusnya digunakan untuk keadaan genting. Senjata api tidak boleh digunakan kecuali mutlak diperlukan dan tak bisa dihindari lagi demi melindungi nyawa seseorang. Penggunaan senjata Api dalam aksi demontrasi itu sudah di luar proporsi dan pelanggaran HAM berat,” kata Direktur LBH Pospera Baubau, Agung Widodo.
Baca juga: Polres Baubau Bantah Tembak Mahasiswa Saat Demo Tolak Omnibus Law di Kantor DPRD
“Pada saat kami melaksanakan identifikasi luka itu, tidak ditemukan adanya benda asing dalam luka tersebut. Jadi deskripsi luka yang kami temukan bahwa kekerasan ini akibat kekerasan tumpul bisa akibat oleh kayu, batu, atau besi,” jelas Kenangan.
Baca juga: Ambulans Dikejar Polisi Saat Demo Ricuh, Terinidikasi Bawa Pedemo dan Batu
Namun demikian, LBH Prospera berharap polisi tetap mengusut tuntas laporan itu.
Selain itu, polisi juga didesak melakukan investigasi secara menyeluruh, efektif, dan independen dan mengusut tuntas kasus a quo.
“Proses hukum juga harus dilakukan secara transparan dan akuntabel, jangan ada yang ditutup-tutupi dan direkayasa. Keluarga korban dan aktivis berhak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Jangan sampai ada impunitas hukum seperti yang selama ini terjadi,” tulisnya.
(Penulis: Defriatno Neke | Editor : Aprillia Ika)
Dapatkan update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari Kompas.com. Mari bergabung di Grup Telegram "Kompas.com News Update", caranya klik link https://t.me/kompascomupdate, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.