Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

GoPot, Lestarikan Wayang Potehi dengan Mobil Keliling di Semarang

Kompas.com - 14/10/2020, 08:22 WIB
Rachmawati

Editor

"Nanggap memberikan kesempatan wayang Potehi bisa tumbuh lagi. Kita himbau para pengusaha, orang-orang yang punya dana bisa nanggap wayang Potehi ini sehingga mereka bisa bersemangat.

"Jadi ada wayang Potehi yang kontekstual modern dan wayang Potehi klasik untuk acara ritual sehingga wayang Potehi tidak akan hilang," imbuh Harjanto.

Baca juga: Apa Manfaat Wayang bagi Pengembangan Warisan Budaya?

Faktor ekonomi jadi kendala pelestarian

Widodo Santoso, dalang wayang Potehi, mengaku kehadiran GoPot membawa angin segar bagi pelaku wayang Potehi.

"Sebagai pelaku, mudah-mudahan dengan adanya GoPot ini wayang Potehi bisa kembali, lebih dikenal masyarakat.

"Bisa kembali seperti dulu pentas lebih luas," jelas lelaki yang mengawali kiprah sebagai cantrik (pembantu) dalang sejak 1993 di Klenteng Poo An Kiong, Blitar, Jawa Timur.

Kehadiran GoPot, menurut Widodo, memungkinkan para pegiat wayang Potehi bisa terus berkarya dan memutar roda ekonomi. Sebab, tanpa pertunjukan, mereka mengalami kesulitan keuangan.

Baca juga: Cara Membuat Wayang Kerangka Manusia, Jawaban Soal TVRI 21 Juli 2020 SD Kelas 4-6

Ini diakui Soni Frans Asmara, dalang wayang Potehi lainnya.

"Kondisi normal dalam satu tahun bisa main empat bulan penuh itu sudah bagus, selebihnya nganggur. Bayangkan jika pandemi. Kalau tidak punya sampingan mungkin tidak sanggup lagi," jelas dalang yang pernah dibayar Rp 18 juta selama tiga hari mendalang pada perayaan Imlek.

Keadaan para pegiat Wayang Potehi tersebut dipahami Toni Harsono, Ketua Yayasan Fu He An yang turut menggagas GoPot.

Dia mengaku pernah diultimatum oleh ayahnya—yang merupakan dalang Potehi—untuk tidak bersentuhan dengan kesenian tersebut agar nasibnya tidak seperti boneka yang dimainkannya.

Baca juga: Bertahan Selama 110 Tahun, Wayang Orang di Sriwedari Solo Kini Manggung Secara Daring

"Dilarang jadi dalang nanti hidupmu susah, nasibnya seperti boneka yang dimainkan. Ketika pentas, tangan dimasukkan ke perut boneka sehingga jalannya gagah.

"Tapi saat tidak pentas, tangan dilepas, perut boneka kempis lagi, terus disampirkan begitu saja. Nasib pemain Potehi sampai hari ini seperti itu.

"Kalau tidak pentas mereka jadi tukang becak, kuli angkut," jelas Toni mengingat pesan ayahnya.

Namun, kecintaannya pada kesenian wayang Potehi mendorongnya tetap bersentuhan dengan boneka-boneka Potehi peninggalan leluhurnya.

"Saya juga heran mau mengeluarkan uang banyak untuk Potehi, padahal saya tidak dapat uang dari situ. Mungkin ini cinta buta," jelasnya.

Baca juga: Wayang Kulit Jawa Berusia 150 Tahun Dipamerkan di Swiss

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com