Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Saat Penegak Hukum Tak Paham Hukum

Kompas.com - 10/10/2020, 05:25 WIB
Setyo Puji

Editor

KOMPAS.com - Aksi represif yang dilakukan polisi saat menyikapi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja tak hanya dilakukan kepada para demonstran.

Sejumlah wartawan di berbagai daerah ternyata juga tak luput dari tindakan arogan para oknum polisi tersebut.

Padahal, para jurnalis saat itu diketahui sedang menjalankan tugasnya untuk menyampaikan informasi dan fakta kepada publik.

Meski tugas mereka telah dijamin Undang-Undang, tapi nyatanya tidak semua anggota penegak hukum itu paham dengan aturan yang berlaku.

Karena dianggap mengambil gambar saat polisi melakukan aksi kekerasan kepada para pendemo, para wartawan itu akhirnya dipaksa menghapus foto, video, bahkan beberapa di antaranya dilakukan penganiayaan.

Menyikapi adanya insiden itu, sejumlah aliansi jurnalis mengecam tindakan dari oknum aparat kepolisian tersebut karena dianggap menghalang-halangi kerja jurnalis dalam menjalankan tugasnya.

Sebab, sesuai UU Pers Nomor 40 Tahun 1999, setiap orang yang menghalangi kebebasan pers terancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp 500 juta.

Berikut ini sederet aksi represif dari aparat kepolisian kepada wartawan.

5 wartawan di Samarinda dianiaya

Tangkapan layar video kekerasan fisik yang dilakukan oknum polisi kepada lima wartawan di Samarinda, Kaltim, Kamis (8/10/2020). Istimewa Tangkapan layar video kekerasan fisik yang dilakukan oknum polisi kepada lima wartawan di Samarinda, Kaltim, Kamis (8/10/2020).

Sebanyak lima wartawan di Samarinda, Kalimantan Timur, mendapat kekerasan fisik dan tindakan intimidasi dari oknum aparat kepolisian.

Peristiwa tersebut terjadi pada Kamis (8/10/2020) malam, saat unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja berlangsung ricuh.

Kelima korban itu di antaranya Yuda Almerio wartawan IDN Times, Samuel Gading wartawan Lensa Borneo.Id, Faishal Alwan Yasir wartawan Koran Kaltim, Mangir Anggoro Titiantoro wartawan Disway Kaltim dan Apriskian Tauda Parulian wartawan Kalimantan TV.

Kejadian itu berawal saat polisi berusaha memukul mundur para demonstran.

Mengetahui hal itu, para wartawan secara spontan berusaha mengambil gambar. Namun, tiba-tiba salah satu dari mereka justru dijambak oleh oknum polisi dari belakang.

“Saya bilang saya ini wartawan, tapi polisi jawab, kalau kamu wartawan memangnya kenapa,” tutur Samuel menirukan.

Baca juga: Liputan Demo Tolak UU Cipta Kerja, 5 Wartawan di Samarinda Dianiaya

Selain Samuel, kondisi serupa juga dialami Mangir. Ia mengaku diinjak kakinya dan diminta oknum polisi berhenti merekam video.

Mengetahui kejadian itu, Yuda dan Riski yang berada di lokasi berusaha melerai pertengkaran tersebut.

Namun demikian, sejumlah aparat polisi itu justru berlanjut melakukan intimidasi dan meminta agar para pewarta itu dapat membuat berita yang baik-baik saja terkait peristiwa itu.

“Kalian kalau bikin berita yang baik-baik. Dia tunjuk saya sambil tangannya menekan-nekan dada saya,” kata Yuda menambahkan.

Sementara itu, Kapolresta Samarinda Kombes Pol Arief Budiman saat dikonfirmasi mengaku akan mencari anggotanya yang berlaku arogan tersebut.

Hanya saja, ia menduga kasus itu terjadi karena salah pengertian dan dianggapnya para wartawan bagian dari kelompok demonstran yang akan membuat kerusuhan.

“Itu gelap ya (karena malam). Saya juga akan mencari tahu siapa anggota itu, mungkin disangkanya rekan-rekan dari wartawan ini salah satu dari biang yang membuat keributan itu,” ungkap dia.

Namun demikian, ia mengaku minta maaf atas ulah dari anggotanya tersebut dan meminta korban yang mengetahui identitas oknum polisi itu untuk segera melaporkan.

Wartawan di Semarang dipaksa hapus foto dan video

Aksi demo omnibus law di depan kantor gubernur jateng, Rabu (7/10/2020).KOMPAS.com/RISKA FARASONALIA Aksi demo omnibus law di depan kantor gubernur jateng, Rabu (7/10/2020).

Seorang jurnalis dari Suara.com, Dafi Yusuf dipaksa menghapus foto dan video oleh aparat kepolisian.

Kejadian itu berawal saat Dafi bertugas meliput aksi unjuk rasa menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja di Semarang, atau tepatnya di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, pada Rabu (7/10/2020).

Ketika aksi unjuk rasa itu terjadi bentrokan antara demonstran dan aparat kepolisian, ia terkejut ketika dilarang melakukan perekaman video oleh sejumlah oknum polisi.

Padahal saat kejadian itu, ia mengaku sudah berusaha menunjukkan identitasnya sebagai wartawan. Namun oleh oknum aparat itu tetap tidak dihiraukan.

Bahkan, foto dan video yang telah direkam sebelumnya dipaksa untuk menghapusnya.

"Saat itu saya merekam tindak represif yang dilakukan polisi kepada massa aksi. Tiba-tiba saya didatangi 15 polisi berpakaian preman dan diminta menghapus rekaman tersebut," katanya saat dikonfirmasi, Kamis (8/10/2020).

Baca juga: Liput Pembubaran Demo, Wartawan di Semarang Dipaksa Hapus Foto dan Video

Menyikapi adanya hal itu, Ketua Aliansi Jurnalis Independen Kota Semarang, Edi Faisol menilai sikap oknum polisi itu melanggar UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.

"Khususnya dalam Pasal 18 yang menyebut, setiap orang yang menghalangi kebebasan pers diancam penjara maksimal dua tahun, dan denda maksimal Rp 500 juta," tandasnya.

Oleh karena itu, ia meminta korban untuk segera membuat laporan dan dari AJI siap melakukan pendampingan hukum.

Sementara itu, Kabid Humas Polda Jateng Iskandar Fitriana Sutisna membantah jika polisi dianggap menghalangi kerja wartawan.

Menurutnya, selama ini polisi selalu berusaha melindungi semua warga termasuk wartawan dari aksi kekerasan.

"Polisi tidak pernah melarang jurnalistik apalagi menghalang-halangi kegiatan peliputan wartawan sepanjang ada identitas wartawan," katanya.

Wartawan di Sukabumi diintimidasi oknum polisi

Sejumlah mahasiswa berlarian saat water cannon menyenmprotkan air saat demonstrasi mahasiswa menolak omnibus law di depan Gedung DPRD Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (8/10/2020).KOMPAS.COM/BUDIYANTO Sejumlah mahasiswa berlarian saat water cannon menyenmprotkan air saat demonstrasi mahasiswa menolak omnibus law di depan Gedung DPRD Kota Sukabumi, Jawa Barat, Kamis (8/10/2020).

Wartawan Tribun Jabar, Fauzi Noviandi mengaku mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari oknum aparat kepolisian saat menjalankan tugasnya meliput aksi unjuk rasa pada Kamis (8/10/2020).

Sesaat setelah merekam aksi kericuhan antara pendemo dan aparat keamanan itu, ia dipaksa untuk menghapusnya.

"Saat itu merekam video dan mengambil foto petugas kepolisian yang mengejar mahasiswa diduga provokator kericuhan. Saat itu ada anggota polisi teriak hapus tuh, hapus rekaman," ungkap Fauzy kepada wartawan di depan gedung DPRD Kota Sukabumi, Kamis sore.

Tidak hanya itu, sesaat setelah kejadian tersebut ia lalu didatangi dua orang oknum polisi berpakaian preman.

Baca juga: Liput Demo Ricuh di Sukabumi, Seorang Jurnalis Dipaksa Hapus Video dan Foto

Keduanya lantas memaksa untuk segera menghapus rekaman video dan gambar yang diambil sebelumnya.

Meski ia sudah berusaha menunjukkan identitasnya sebagai wartawan, tapi lagi-lagi oknum polisi tersebut tidak menghiraukan.

"Malah merebut handphone, langsung menghapus video dan foto," ujar Fauzy.

Sementara itu Kapolres Sukabumi Kota AKBP Sumarni saat dikonfirmasi mengaku minta maaf atas kejadian itu.

"Saya, selaku pimpinan pengamanan pada saat aksi mahasiswa, merasa prihatin dan meminta maaf atas kejadian ini kepada seluruh jurnalis," terangnya.

Sumber: Kompas.com (Penulis : Budiyanto, Riska Farasonalia, Zakarias Demon | Editor : Aprillia Ika, Teuku Muhammad Valdy Arief)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com