Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Dedi Mulyadi Minta Kementan Dorong Petani Gunakan Pupuk Organik

Kompas.com - 06/10/2020, 06:39 WIB
Farid Assifa

Editor

KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi IV Dedi Mulyadi meminta Kementerian Pertanian untuk mengubah pola subsidi pupuk dari kimia ke organik.

Sebab, dalam jangka waktu panjang, tanah di Indonesia akan mengalami titik jenuh akibat seringnya penggunaan pupuk kimia.

"Salah satu tradisi pertanian di Indonesia adalah kalau padi tak hijau itu tak puas. Agar hijau dosis pupuk ditambah sehingga unsur hara di dalam tanah akan mengalami penurunan tajam dari waktu ke waktu. Maka dalam pandangan saya nanti akan ada titik jenuh dan tanah nantinya jadi tak produktif," kata Dedi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Selasa (6/10/2020).

Dedi mengatakan, pada era Soeharto, pola pertanian diubah dari pertanian tradisi menjadi mekanik dan pestisida.

Sekarang dunia terbalik lagi. Pertanian pestisida itu adalah ancaman bagi kehidupan ekosistem dan petani dalam jangka panjang.

"Kementan harus mengubah polanya. Kalau saat ini pupuk kimia dapat subsidi besar, sekarang secara harus secara memaksa rakyat untuk menggunakan pupuk organik," tandasnya.

Menurut Dedi, penggunaan pupuk organik itu dapat membuat petani mandiri. Sebab, filosofi dasar dari pupuk organik itu adalah petani mampu membuat pupuk sendiri dengan memuliakan unsur kehidupan tanah, mulai dari cacing, belut dan berbagai mikroorganisme di dalamnya.

Baca juga: Pupuk Organik, Solusi Petani Hemat Biaya Produksi di Masa Pandemi

 

Kemudian pupuk organik itu juga dapat membangun siklus ekologi yang berkelanjutan, yaitu dengan mengembangkan pola pupuk hijau dan pupuk kandang.

Dengan pola pupuk hijau, seluruh potensi yang ada di sawah, mulai jerami dan sejenisnya akan menjadi bagian terpenting dalam siklus kehidupan petani yang selama ini disia-siakan.

Lalu pupuk kandang menjadikan sektor peternakan menjadi bagian terpenting pertanian. Belum ditambah lagi pola mina padi yang memanfaatkan sawah untuk perikanan. Maka di sana ada siklus ekonomi.

"Sehingga ketika petani memelihara kerbau, sapi dan domba, maka kebutuhan pokoknya adalah kotoran dan air seni. Itu produk utama untuk pupuk. Sedangkan daging itu adalah tambahan," kata Dedi.

Kemudian, lanjut Dedi, petani juga menggunakan seluruh produk daun di sekelilingnya, mulai jerami dan berbagai dedaunan lainnya. Itu menjadi produksi konsumsi peternakannya, sehingga siklus ekonomi berputar hanya pada diri petani.

"Apalagi kalau nanti dikembangkan menjadi bio energi untuk gas dan listrik, itu dihasilkan dari pertanian," katanya.

Dengan pola pertanian organik ini, kata Dedi, meski petani hanya punya lahan sedikit, misalnya seperempat atau setengah hektar, tapi itu terbukti berhasil membangun kemandirian petani. Menurutnya, pengalaman ini sudah ditunjukkan oleh orangtua kita dulu.

"Orangtua kita dulu punya sawah hanya seperempat hektar dan sapi 3 ekor, tetapi dia mampu membangun siklus ekomomi sehingga anak-anaknya bisa pada sekolah, dan sekolah waktu itu tak ada subsidi. Ini yang disebut dengan kemandirian petani," tandasnya.

Baca juga: Petani Karawang Terpaksa Beli Pupuk Non-subsidi, Biaya Produksi Naik 3 Kali Lipat

Terkait pupuk kimia, Dedi mengatakan, petani Indonesia harus mengubah pola pikir. Ia mengatakan bahwa pupuk kimia itu berhubungan dengan bisnis, yaitu impor bahan baku.

"Inilah yang harus diubah mindset bangsa kita, khususnya tentang pertanian. Ada kepentingan besar (dari pupuk kimia), yaitu bahan baku," katanya.

"Orang selalu berpikir impor karena ya kita jujur-juran saja, di impor itu banyak 'gulanya'," ujar Dedi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com