Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sengkang dan Cerita Kelihaian Berenang Suku Bajau

Kompas.com - 02/10/2020, 09:09 WIB
Rosyid A Azhar ,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

GORONTALO, KOMPAS.com – Cerita Sengkang hingga kini masih diingat suku Bajau yang tinggal di Teluk Tomini, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Sengkang memang telah tiada sejak dunia memasuki milennium baru. Namun kisahnya masih terus diingat.

“Sengkang adalah warga Suku Bajau di Torosiaje yang lahir sekitar tahun 1970-an. Dia memiliki kelebihan dibandingkan warga bajau lainnya,” kata Umar Pasandre, warga Torosiaje Jaya, Jumat (2/10/2020).

Menurut dugaannya, Sengkang adalah warga yang berkebutuhan khusus sejak lahir.

Umar Pasandre masih ingat, Sengkang tidak bisa berbicara. Dia lebih suka menyendiri berendam di laut sepanjang hari.

Baca juga: Rindu Dendang Suku Bajau di Teluk Tomini

Sengkang juga sering terlihat tengah berenang memasuki kolong rumah-rumah warga yang penuh landak laut atau bulu babi (Echinoidea).

Saat kecil dia sering kali diajak mencari ikan oleh orangtuanya hingga ke daerah Moutong, Sulawesi Tengah, sebelah barat Kabupaten Pohuwato, Gorontalo.

Pesisir ini merupakan jalur tradisional orang Bajau mencari ikan, termasuk hingga ke wilayah selatan Teluk Tomini.

Sejak kecil dia diajak ibunya untuk mencari ikan atau teripang sambil menyusuri tepi hutan mangrove yang masih rimbun.

Berhari-hari Sengkang kecil mengikuti perahu mungil yang didayung orangtuanya, sepanjang itu juga dia akrab dengan laut sebagaimana para suku Bajau lainnya.

Namun seiring waktu saat Sengkang kembali ke desanya, dia telah menarik perhatian semua orang, bahkan termasuk oleh masyarakatnya sendiri.

Baca juga: Rayakan Lebaran Hari Ke-7, Suku Bajau Serumpun Makan Ketupat dengan Ikan

Daya tariknya adalah kemampuannya beradaptasi dengan laut.

“Dia bisa seharian berada di laut, berenang ke sana ke mari di bawah kolong rumah warga atau dijumpai nelayan di laut yang jauh dari perkampungan,” ujar Umar Pasandre.

Semua warga Bajau bisa berenang dan menyelam, tapi Sengkang lebih dari itu.

Sebuah foto lama yang mengabadikan Sengkang, manusia laut suku bajau di Torosiaje Kabupaten Pohuwato. pancangan kayu di atas permukaan air laut ini adalah satu-satunya rumah yang disukainya saat tidak berenang di laut.KOMPAS.COM/IST Sebuah foto lama yang mengabadikan Sengkang, manusia laut suku bajau di Torosiaje Kabupaten Pohuwato. pancangan kayu di atas permukaan air laut ini adalah satu-satunya rumah yang disukainya saat tidak berenang di laut.
Dia mampu berjalan dengan setengah badannya tetap di dalam air sementara kedua tangannya tengah asyik memegang mainan atau piring berisi makanan, layaknya manusia berjalan di darat.

Sering kali dia bermain-main di bawah kolong rumah warga, mencari pecahan kaca atau botol yang memantulkan cahaya, Sengkang sangat suka dengan mainan ini.

Pecahan beling banyak dikumpulkan untuk dijadikan mainan.

Pantulan cahaya ini yang selalu menggembirakan hatinya, dia bermain sendiri di laut seharian.

Sesekali dia menghilang berenang ke arah pulau yang berada di depan permukiman suku Bajau, warga menyebutnya sebagai Pulau Torosiaje Kecil dan Torosiaje Besar.

Baca juga: Harapan dari Jaring Apung di Halaman Rumah Suku Bajau...

Gaya berenang dan menyelam di laut ini yang sering membuat kaget para nelayan karena dikira ikan besar atau makhluk lain yang mendekati perahu.

“Sebagian waktunya dihabiskan di dalam air, berenang dan menyelam di sekitar perkampungan,” tutur Umar Pasandre.

Yang mengherankan banyak orang adalah kemampuan Sengkang menyesuaikan diri dengan lingkungan berbahaya.

Dia berenang atau berjalan di bawah kolong rumah seperti tidak mempan oleh tusukan beracun bulu landak laut atau bulu babi.

Banyak warga Torosiaje yang bekerja sebagai penyedia angkutan transportasi dari daratan sulawesi ke perkampungan mereka yang berada di tengah laut. Lalu lalang orang dan barang kebutuhan pokok sangat bergantung pada mereka.KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR Banyak warga Torosiaje yang bekerja sebagai penyedia angkutan transportasi dari daratan sulawesi ke perkampungan mereka yang berada di tengah laut. Lalu lalang orang dan barang kebutuhan pokok sangat bergantung pada mereka.

Padahal bulu babi ini memiliki duri-duri tajam dan beracun di seluruh tubuhnya.

Jika tertusuk akan terasa gatal, perih dan sakit yang berkepanjangan di seluruh badan hingga berhari-hari.

Orang lebih memilih menghindar jika bertemu bulu babi, tidak dengan Sengkang.

Umar menceritakan upaya orangtua Sengkang untuk merawat anaknya juga dilakukan, bahkan pernah dibuatkan pondok mungil untuk dijadikan tempat beristirahat naik dari dalam air.

Baca juga: Tak Punya Ladang, Suku Bajau Torosiaje Berlatih Sistem Tanam Hidroponik

Sayangnya pondok ini malah dirobohkan oleh Sengkang. Dia lebih suka berada di dalam air dibandingkan harus naik di rumah kecilnya.

“Dia bisu, namun dia masih mampu berkomunikasi dengan isyarat kepada warga, misalnya saat dia minta makan. Wargapun paham dengan gayanya,” ucap Umar Pasandre.

Sifatnya yang suka menyendiri acap menjadi candaan warga. Bahkan anak-sanak sebayanya suka mengusilinya karena dia tidak pernah mengenakan pakaian.

Kemampuannya menghabiskan hampir seluruh hidupnya di dalam air laut inilah yang kemudian menjadi buah bibir warga di sekitar Popayato, bahkan orang yang berada di luar daerah pun ada yang mendengar nama Sengkang si manusia laut.

Sejumlah orang menaiki perahu tradisional di pesisir Popayato, mereka adalah warga bajau yang tinggal di Desa TorosiajeKOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR Sejumlah orang menaiki perahu tradisional di pesisir Popayato, mereka adalah warga bajau yang tinggal di Desa Torosiaje
Nama Sengkang juga membuat suku Bajau di Torosiaje ini dikenal orang hingga ke luar daerah.

“Karena selalu di dalam air, kulit tubuhnya mengalami masalah kesehatan, ini yang membedakan dengan kulit warga Bajau lainnya. Bahkan ada yang menyangka kulitnya telah tumbuh lumut,” tutur Rena, warga Bajau yang tinggal dekat dermaga desa.

Rena yakin Sengkang adalah perenang nomor satu di Torosiaje, bahkan mungkin di dunia. Karena seumur hidupnya berada di dalam air laut dan berenang mengelilingi laut Torosiaje.

Manusia laut ini memang telah menjadi ikon masyarakat bajau di Torosiaje. Kisahnya semakin menguatkan keberadaan suku Bajau sebagai perenang dan menyelam ulung.

Dia sempat memasuki usia dewasa sebelum meninggal dunia di dalam air.

Baca juga: Film Dokumenter The Call From the Sea Ungkap Masalah Laut dan Suku Bajau

Umar Pasandre menceritakan jasad Sengkang dikubur di dalam gundukan pasir yang menyembul di dekat perkampungan, ini adalah pekuburan lama suku bajau.

“Biasanya di tempat lain jika ada orang meninggal dunia akan digali dulu kuburnya sebelum prosesi penanganan mayat dilakukan, waktu Sengkang meninggal gundukan pasir digali setelah mayatnya tiba. Memang seperti kebiasaan waktu itu,” tutur Umar.

Cerita berbau mistik dituturkan oleh Rena. Dia mendapatkan informasi, selama ini ada roh laut yang memasuki tubuh Sengkang sehingga mampu bertahan hidup di dalam air sepanjang usianya.

Saat dia meninggal menandakan roh tersebut telah meninggalkan tubuh Sengkang.

Para wanita Suku Bajau yang tinggal di rumah mendidik anak-anak. Mereka berperan penting dalam pewarisan bahasa dan budaya bajau.KOMPAS.COM/ROSYID A AZHAR Para wanita Suku Bajau yang tinggal di rumah mendidik anak-anak. Mereka berperan penting dalam pewarisan bahasa dan budaya bajau.

Kisah Sengkang si manusia laut memang diliputi misteri, tapi kisah ini menjadi daya tarik suku Bajau di Torosiaje.

Suku Bajau memang tengah mengalami perubahan. Mereka sudah tidak lagi mengenal rumah perahu yang ditinggali sepanjang hidupnya untuk mengelana di laut.

Suku bajau kini telah memiliki rumah, memiliki radio dan pesawat televisi, punya kios atau warung makan, bahkan ada yang menyewakan kamarnya untuk penginapan para tamu.

Warga Bajau Torosiaje membangun rumahnya di atas laut yang terpisah dari daratan Pulau Sulawesi.

Baca juga: Hutan Mangrove Penolong Nelayan Suku Bajau Saat Musim Angin Barat

Mereka mendirikan rumah dengan tiang pancang batang kayu yang kokoh di atas gugusan karang.

Awalnya hanya beberapa rumah yang saling berjauhan, tapi lambat laun jumlah suku Bajau semakin banyak.

Setiap keluarga baru mendirikan rumah di sebelah rumah lama, hingga berjumlah ratusan rumah.

Orang laut ini juga telah lama mengenyam pendidikan di sekolah formal, di desa yang berada di tengah laut ini juga terdapat bangunan sekolah, juga masjid dan ruang pertemuan.

Perubahan sosial budaya ini merupakan bentuk adaptasi dari kehidupan nomaden, pengembara laut ke kehidupan yang menetap seiring perubahan zaman.

Namun pemukiman mereka masih berada di tengah laut, halaman rumah masih laut, kolong rumah berisi air laut.

Di tiang-tiang rumah mereka terikat soppe, perahu tradisional yang setiap saat digunakan untuk menangkap ikan dan teripang. Karena mereka tetap sebagai suku laut.

 

Foto dirilis Senin (7/9/2020), memperlihatkan seorang Suku Bajau menyelesaikan pesanan perahu yang menjadi transportasi utama di Desa Torosiaje. Suku Bajau terkenal sebagai suku pengembara laut dan nelayan ulung dalam mencari ikan, yang kental menjaga budaya leluhur seperti tradisi, ritual dan pantangan.ANTARA FOTO/ADIWINATA SOLIHIN Foto dirilis Senin (7/9/2020), memperlihatkan seorang Suku Bajau menyelesaikan pesanan perahu yang menjadi transportasi utama di Desa Torosiaje. Suku Bajau terkenal sebagai suku pengembara laut dan nelayan ulung dalam mencari ikan, yang kental menjaga budaya leluhur seperti tradisi, ritual dan pantangan.
Saat ini terdapat 1.448 jiwa atau 425 kepala keluarga suku Bajau yang membangun rumah di atas laut.

Perkampungan ini terus tumbuh dengan rumah-rumah baru yang didirikan di sisi tepinya. Masih ada karang yang dapat dijadikan pijakan tiang rumah.

Uten Sairullah, punggawa atau Kepala Desa Torosiaje mengatakan hampir semua warganya bekerja sebagai nelayan, ada sedikit orang yang mulai mendirikan kios atau warung yang menyediakan bahan pokok keperluan warga desa.

Baca juga: Tiga Desa Suku Bajau Bersepakat Jaga 124 Hektar Hutan Bakau

Ada tiga desa yang dihuni suku bajau di sini, Desa Torosiaje yang di atas laut, Torosiaje Jaya dan Bumi Bahari yang berada di daratan Sulawesi.

Semua warga tiga desa ini menyebut menyebut diri sebagai masyarakat Bajau serumpun, mereka masih terikat kekerabatan, juga kesamaan sosial budaya.

“Sebagian besar penduduk Torosiaje masih setia dengan pekerjaan leluhur, mencari ikan di laut. Meskipun sudah tidak seperti dulu lagi,” kata Uten Sairullah.

Kehidupan orang Bajau di laut memang tidak banyak diketahui oleh orang daratan, tapi mereka juga harus mendapat layanan yang sama oleh pemerintah.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com