Nama Sengkang juga membuat suku Bajau di Torosiaje ini dikenal orang hingga ke luar daerah.
“Karena selalu di dalam air, kulit tubuhnya mengalami masalah kesehatan, ini yang membedakan dengan kulit warga Bajau lainnya. Bahkan ada yang menyangka kulitnya telah tumbuh lumut,” tutur Rena, warga Bajau yang tinggal dekat dermaga desa.
Rena yakin Sengkang adalah perenang nomor satu di Torosiaje, bahkan mungkin di dunia. Karena seumur hidupnya berada di dalam air laut dan berenang mengelilingi laut Torosiaje.
Manusia laut ini memang telah menjadi ikon masyarakat bajau di Torosiaje. Kisahnya semakin menguatkan keberadaan suku Bajau sebagai perenang dan menyelam ulung.
Dia sempat memasuki usia dewasa sebelum meninggal dunia di dalam air.
Baca juga: Film Dokumenter The Call From the Sea Ungkap Masalah Laut dan Suku Bajau
Umar Pasandre menceritakan jasad Sengkang dikubur di dalam gundukan pasir yang menyembul di dekat perkampungan, ini adalah pekuburan lama suku bajau.
“Biasanya di tempat lain jika ada orang meninggal dunia akan digali dulu kuburnya sebelum prosesi penanganan mayat dilakukan, waktu Sengkang meninggal gundukan pasir digali setelah mayatnya tiba. Memang seperti kebiasaan waktu itu,” tutur Umar.
Cerita berbau mistik dituturkan oleh Rena. Dia mendapatkan informasi, selama ini ada roh laut yang memasuki tubuh Sengkang sehingga mampu bertahan hidup di dalam air sepanjang usianya.
Saat dia meninggal menandakan roh tersebut telah meninggalkan tubuh Sengkang.
Kisah Sengkang si manusia laut memang diliputi misteri, tapi kisah ini menjadi daya tarik suku Bajau di Torosiaje.
Suku Bajau memang tengah mengalami perubahan. Mereka sudah tidak lagi mengenal rumah perahu yang ditinggali sepanjang hidupnya untuk mengelana di laut.
Suku bajau kini telah memiliki rumah, memiliki radio dan pesawat televisi, punya kios atau warung makan, bahkan ada yang menyewakan kamarnya untuk penginapan para tamu.
Warga Bajau Torosiaje membangun rumahnya di atas laut yang terpisah dari daratan Pulau Sulawesi.
Baca juga: Hutan Mangrove Penolong Nelayan Suku Bajau Saat Musim Angin Barat
Mereka mendirikan rumah dengan tiang pancang batang kayu yang kokoh di atas gugusan karang.
Awalnya hanya beberapa rumah yang saling berjauhan, tapi lambat laun jumlah suku Bajau semakin banyak.
Setiap keluarga baru mendirikan rumah di sebelah rumah lama, hingga berjumlah ratusan rumah.
Orang laut ini juga telah lama mengenyam pendidikan di sekolah formal, di desa yang berada di tengah laut ini juga terdapat bangunan sekolah, juga masjid dan ruang pertemuan.
Perubahan sosial budaya ini merupakan bentuk adaptasi dari kehidupan nomaden, pengembara laut ke kehidupan yang menetap seiring perubahan zaman.
Namun pemukiman mereka masih berada di tengah laut, halaman rumah masih laut, kolong rumah berisi air laut.
Di tiang-tiang rumah mereka terikat soppe, perahu tradisional yang setiap saat digunakan untuk menangkap ikan dan teripang. Karena mereka tetap sebagai suku laut.