Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Sejarawan UGM Tanggapi Kontroversi Penyiksaan Para Jenderal di Film G30S/PKI

Kompas.com - 01/10/2020, 07:26 WIB
Setyo Puji

Editor

KOMPAS.com - Pakar sejarah Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Sri Margana menilai film G30S/PKI cacat fakta. 

Salah satunya terkait dengan adegan penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan ke Lubang Buaya.

Hal itu dianggap tidak benar dan hanya rekayasa yang dibuat oleh sutradara Arifin C Noer agar lebih dramatis.

"Film ini terbukti cacat fakta yang sudah diakui oleh sutradaranya sendiri. Misalnya soal penyiksaan para jenderal sebelum dimasukkan di Lubang Buaya itu terbukti dari arsip-arsip visum tidak ada, hanya dramatisasi," ungkapnya dalam keterangan tertulis Humas UGM, Rabu (30/9/2020).

Baca juga: Soal Film G30S/PKI, Ini Saran Sejarawan UGM untuk yang Belum Pernah Menonton

Menurut Sri, menjadikan peristiwa kelam yang terjadi pada 1965 sebagai pelajaran sejarah dianggap baik.

Dengan begitu, masyarakat bisa menjadikannya sebagai referensi agar tragedi tersebut tidak kembali terulang.

Hanya saja, ia meminta agar jangan sampai propaganda yang dilakukan saat ini justru dapat mewariskan dendam masa lalu pada generasi selanjutnya.

Pasalnya, konflik saat itu sebenarnya terjadi akibat dari adanya gesekan antarkelompok politik.

"Yang mengerikan itu hendak diwariskan pada semuanya yang tidak berkaitan dengan masalah itu. Jadi jangan wariskan dendam," ujarnya.

Baca juga: Fakta Acara Silaturahim KAMI Batal Digelar di Surabaya, Diblokade Massa hingga Dibubarkan Polisi

 

Meski film tersebut tidak obyektif, Sri menilai masyarakat saat ini sudah cerdas dan bisa menyaring mana yang benar dan salah.

Terlebih lagi, sudah banyak fakta baru terkait peristiwa yang terjadi pada 30 September 1965 tersebut.

"Masyarakat saat ini sudah cerdas. Sudah banyak beredar fakta-fakta baru terkait peristiwa G30S/PKI sehingga orang bisa membuat penilaian mana yang benar dan tidak di film itu," ujarnya.

Sementara itu, terkait dengan sikap pemerintah yang tidak melarang atau mewajibkan masyarakat menonton film itu, kata Sri, juga dinilai sudah tepat.

Sebab, film tersebut dianggap masih kontroversi dan tidak menggambarkan realitas secara utuh pada masa itu.

"Kalau sampai diwajibkan ataupun dilarang nonton itu tidak benar," ujarnya.

Penulis : Kontributor Yogyakarta, Wijaya Kusuma | Editor : Khairina

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com