"Ada pengistimewaan dan impunitas kepada kepala daerah ketika terjerat kasus hukum karena untuk dilakukan pemeriksaan dan penahanan perlu izin dari Mendagri [kabupaten- kota] dan presiden [gubernur]," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, Selasa (29//9/2020).
"Dan menunjukan diskriminasi juga, tidak ada persamaan di muka hukum. Bagaimana satu tersangka [TB] sudah dipidana, tapi terduga pelaku yang melakukan eksploitasi tidak ditahan bahkan kini menjabat sebagai Plt," tambah Siti.
Baca juga: Polisi Tetapkan Wakil Bupati Buton Utara Tersangka Pencabulan Anak
Pasal 90 UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah menyebutkan, tindakan penyidikan yang dilanjutkan dengan penahanan memerlukan persetujuan tertulis dari presiden dan menteri (Menteri Dalam Negeri).
Aturan itu, kata Siti Aminah, yang menjadi penghalang dilakukannya penahanan.
"Untuk itu kami minta Mendagri turun tangan dengan melakukan evaluasi pengangkatan Plt dan mengeluarkan izin tertulis kepada penegak hukum sehingga penahanan bisa dilakukan."
"Kami khawatir jika menjabat Plt maka tersangka memiliki kekuatan yang lebih untuk menggunakan relasi jaringan kekuasaan dalam menjauhkan pemenuhan keadilan bagi korban," kata Siti Aminah.
Baca juga: Pelaku Pencabulan Anak Tiri 10 Kali: Tolong Jaga Anakku, Jangan Seperti Aku
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra juga menyayangkan apa yang ia sebut "perlakuan khusus" kepada Ramadio karena berangkat dari kasus-kasus lain, aparat penegak hukum selalu melakukan penahanan dengan segera kepada terduga pelaku kekerasan seksual anak, apalagi ancaman pidananya di atas lima tahun penjara.
"Ini mencederai perjuangan perlindungan anak di Indonesia. Kalau hanya masalah teknis administratif tentu itu bisa diselesaikan."
"Siapa pun yang cukup bukti harus ditahan, jangan kasus ini menjadi preseden buruk dengan adanya perlakukan khusus bagi pelaku ketika berasal dari pejabat publik," kata Jasra.
Gubernur Sulawesi Tenggara Ali Maza mengukuhkan Ramadio sebagai Plt bupati Buton Utara, Jumat (25/09), karena Bupati Abu Hasan mencalonkan diri kembali sebagai calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 mendatang.
Baca juga: Pencabulan Anak oleh Pejabat Gereja di Depok: Cerita Orangtua Depresi, Minta Ikut Direhablitasi
Pendamping korban EV, dari Yayasan Lambu Ina, Yustina Fendrita mengatakan, berlarutnya proses hukum terhadap terduga Ramadio menyebabkan korban menerima dampak berlapis.
"Proses sudah hampir setahun, pelaku tidak ditahan, justru mendapat hak istimewa menghirup udara bebas, dan mendapat fasilitas dari negara dan hak istimewa sebagai pejabat, sementara korban semakin berlapis penderitannya," kata Yustina.
Yustina mengatakan penderitaan berlapis yang dialami korban yaitu, kekerasan seksual dan trauma berkepanjangan yang sulit dipulihkan. Kemudian, korban juga mendapatkan sanksi dan stigmatisasi sosial dari beberapa masyarakat karena dianggap sebagai penebar aib komunitas.
Baca juga: Gunakan Kuasa, Pendeta di Surabaya Cabuli Jemaatnya Selama 6 Tahun, Ini Penjelasannya
"Korban di-bully di sekolah sehingga berhenti sekolah, tokoh adat sekitar memaksa korban menikah tapi korban menolak sehingga sempat terusir dari kampung halamannya," kata Yustina.
Tulis komentar dengan menyertakan tagar #JernihBerkomentar dan #MelihatHarapan di kolom komentar artikel Kompas.com. Menangkan E-Voucher senilai Jutaan Rupiah dan 1 unit Smartphone.
Syarat & Ketentuan