Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

KontraS Tagih Janji Gubernur Sumut soal Penyelesaian Konflik Agraria

Kompas.com - 25/09/2020, 06:49 WIB
Kontributor Medan, Mei Leandha,
Abba Gabrillin

Tim Redaksi

MEDAN, KOMPAS.com - Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)  menilai, konflik agraria masih menjadi persoalan yang genting di Sumatera Utara.

Menurut KontraS, banyak kasus yang tidak selesai, bahkan semakin banyak penambahan kasus-kasus baru. 

Koordinator KontraS Sumut Amin Multazam Lubis menyebut Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tidak punya kemauan dan kemampuan dalam menyelesaikan masalah agraria.

Baca juga: Soroti Konflik Agraria, Gerindra Setuju DPR Bahas RUU Masyarakat Hukum Adat

Pendekatan yang dilakukan dinilai masih konvensional, cenderung menyampingkan hak rakyat kecil dan pro pada pemodal-pemodal besar.

Menurut Amin, Gubernur Sumut Edy Rahmayadi pernah berjanji menyelesaikan konflik agraria dalam jangka waktu setahun.

Namun, setelah dua tahun jadi gubernur, konflik agraria semakin mengkhawatirkan.

"Janji Edy menuntaskan konflik dalam waktu setahun ibarat jauh panggang dari api," kata Amin dalam keterangan tertulis, Kamis (24/9/2020).

Baca juga: Edy Rahmayadi Berencana Isolasi Pulau Nias: Bulan Lalu Nol Kasus, Sekarang 90 Orang Kena Corona

Hasil monitoring sepanjang 2020, KontraS mencatat ada 30 titik konflik agraria yang terjadi.

Jumlah ini tidak jauh berbeda dengan 2019, dengan 23 titik konflik.

Menurut Amin, hal ini bukan hanya mengakibatkan terampasnya ruang hidup dan mata pencaharian masyarakat.

Namun juga kerap mengakibatkan korban luka hingga kriminalisasi terhadap mereka yang mempertahankan haknya.

Secara garis besar, KontraS mengkategorikan akar persoalan konflik agraria di Sumut menjadi lima.

Kelimanya yakni, konflik akibat tumpang tindih hak guna usaha (HGU), konflik di atas tanah eks HGU, konflik akibat masuknya pembangunan dan industri skala besar, konflik imbas belum direalisasikannya kebun plasma dan konflik di kawasan hutan.

 

Konflik di atas lahan HGU paling banyak terjadi di wilayah pantai timur Sumut yang merupakan daerah perkebunan potensial.

Persoalan eks HGU seluas 5.873,06 hektar tersebar di Kabupaten Deliserdang, Langkat dan Binjai.

Adapun konflik imbas pembangunan dan masuknya industri skala besar terjadi di Deliserdang, Langkat, kawasan Danau Toba (KDT) sampai Dairi.

"Sepanjang pantai barat bergejolak persoalan kebun plasma. Konflik di kawasan hutan akibat izin konsesi HTI yang menggerus tanah adat masyarakat, hingga polemik perhutanan sosial tersebar merata hampir seluruh daerah di Sumut," kata Amin.

Menurut KontraS, persoalan ini sejak bertahun-tahun menjadi penyumbang konflik pertanahan, dan titik konfliknya menyebar di hampir setiap kabupaten dan kota.

Namun, formulasi penyelesaian, atau upaya menekan angka konflik belum terlihat.

"Kami menyoroti polemik di lahan PTPN 2, proses okupasi dan re-planting dalam setahun belakangan ini selalu menimbulkan konflik. Dalil mengamankan aset, PTPN 2 gencar mengambil alih lahan yang bertahun-tahun dikelola masyarakat," ucap Amin.

Kajian KontraS, tumpang tindih di lahan HGU PTPN 2 disebabkan beberapa faktor, yaitu HGU aktif sempat ditelantarkan belasan tahun sehingga dikelola masyarakat.

HGU terbit saat tanah telah dikuasai masyarakat pasca reformasi, berada di atas tanah yang memiliki ikatan sejarah dengan masyarakat, dan hasil penggusiran paksa saat rezim orde baru.

"Tidak bisa dilakukan hanya dengan melihat hilir persoalan, bahwa PTPN 2 punya HGU dan masyarakat dipaksa untuk angkat kaki. Lalu kemudian diberikan konsep kompensasi,  ganti rugi, atau tali asih. Menyelesaikan persoalan tidak sesederhana itu," tutur dia.

Persoalan lain yang menjadi catatan KontraS yakni maraknya berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN) yang justru di sisi lain mengancam hak ekonomi sosial dan budaya masyarakat sekitar.

Masalah-masalah klasik seperti pembangunan infrastruktur yang tidak partisipatif, penyusunan AMDAL hanya untuk formalitas hingga munculnya mafia tanah yang menyebabkan warga negara tercabut hak-haknya masih jadi persoalan yang muncul dalam proyek pembangunan.

Mirisnya, menurut Amin, warga yang tidak sepakat atas suatu proyek malah direspons dengan intimidasi dan penggunaan hukum pidana berupa kriminalisasi.

KontraS berharap, di tengah situasi pandemi ini, sejumlah titik konflik dapat diminimalisasi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com