Migrasi Ke Hulu Sungai dan Terancam Punah
Masyarakat Samarinda menikmati pemandangan unik pesut di perairan sungai mahakam sekitar 1970-an.
Lima tahun kemudian, 1975, Menteri Pertanian menetapkan pesut mahakam sebagai satwa dilindungi berdasarkan keputusan nomor 45/Kpts/Um/1/1975.
Setahun setelah ditetapkan, 1976, Dinas Perikanan Kaltim melaporkan populasi pesut diperkirakan sekitar 1.500 sampai 2.000 ekor.
Baca juga: Kandung Logam Berat, Sungai Mahakam Sudah Tak Ramah Bagi Pesut
Namun populasinya mulai berkurang ketika masuknya industri ke Kaltim.
Transportasi Sungai Mahakam mulai ramai dengan kapal-kapal bermesin saat masuknya perusahaan-perusahaan kayu.
Lalu lintas kapal memuat kayu bulat dan barang hasil hutan lainnya.
“Gemuru suara memaksa kawanan pesut ini migrasi ke hulu Mahakam,” terang Sarip.
Selain itu, kualitas air Sungai Mahakam mulai tercemar sejak masuknya industri di Kaltim.
Awal mula dari sektor perkayuan, kemudian ke sektor batu bara hingga perkebunan kelapa sawit dan lainnya.
Kegiatan tersebut selain menjadikan sungai mahakam akses distribusi, juga limbah yang mencemari kualitas air.
Hal tersebut memaksa kawanan pesut keluar dari habitat awalnya.
Pada musim kemarau 2013 kawanan pesut mahakam sempat terlihat di Desa Segihan Kecamatan Sebulu, Kutai Kartanegara (Kukar), sekitar 35 kilometer di hulu Samarinda.
Jalur sungai mahakam yang banyak habitat pesut teridentifikasi di Kecamatan Kota Bangun dan Muara Muntai, Kukar.
Sejak Juli 2017 hingga Mei 2018, Yayasan Konservasi Rare Aquatic Species Of Indonesia (RASI) melakukan uji sampel air di 16 titik sampling di sepanjang sungai Mahakam.
Baca juga: Pasca-kebakaran di Teluk Balikpapan, Satu Ekor Pesut Ditemukan Mati
Hasilnya, logam berat Cd (Kadmium) dan Pb (timbal) melampaui baku mutu 23 kali. Kondisi itu dinilai berbahaya bagi pesut juga manusia.
Selain kandungan logam berat, temuan lain ikan yang jadi pakan pesut pun berkurang.
Hal tersebut karena masifnya konversi lahan menjadi perkebunan, pertambangan dan lain-lain.