Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Jeritan Hati Anak Berkebutuhan Khusus Saat Pandemi, Jalan Kaki ke Rumah Guru karena Rindu

Kompas.com - 16/09/2020, 09:55 WIB
Ahmad Dzulviqor,
Khairina

Tim Redaksi

NUNUKAN, KOMPAS.com – Proses belajar dalam jaringan (daring) di masa pandemi Covid-19, menjadi siksaan batin bagi anak anak berkebutuhan khusus di Nunukan, Kalimantan Utara.

"Belajar jarak jauh itu bisa dikatakan siksaan bagi anak anak Sekolah Luar Biasa (SLB), mereka seakan diasingkan dari dunianya dan dijauhkan dari orang orang yang senasibnya, apalagi mereka sangat butuh perhatian dan butuh komunikasi untuk mengekspresikan yang mereka rasa,’’ujar Kepala Sekolah Luar Biasa Negeri (SLBN) Nunukan Zet Simon, ditemui Kompas.com, Selasa (15/9/2020).

Merebaknya virus Covid-19 yang berakibat meniadakan belajar tatap muka, membuat para guru SLBN Nunukan harus memutar otak untuk membuat inovasi pembelajaran seefektif dan sesederhana mungkin bagi para anak didik mereka dengan segala keterbatasan yang ada.

Baca juga: Biaya Sendiri, Tukang Pijat Tunanetra Dirikan Sekolah Gratis bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Para guru dihadapkan pada tantangan, kunjungan langsung dari rumah ke rumah yang kebanyakan harus melewati bukit, turun gunung dengan medan tidak mudah.

Sebab, dari sekitar 78 pelajar SLBN Nunukan, bisa dikatakan mayoritas tinggal di pelosok yang jauh dari perkotaan.

"Tantangan bagi kami adalah kreativitas, anak anak berkebutuhan khusus sangat berbeda, kita mengandalkan video dan gambar untuk mengajari mereka, memahamkan mereka, dengan bahasa sangat sederhana dan sedetail mungkin,’’kata Simon.

Reaksi siswa SLBN Nunukan saat sekolah libur

Sebanyak 11 guru SLBN Nunukan mengaku kesulitan untuk memberikan penjelasan kepada para anak didik mereka ketika pertama kali meliburkan sekolah, sekitar akhir Maret 2020 lalu.

Ada 4 jenis anak berkebutuhan khusus di SLBN Nunukan, masing masing tuna daksa, tuna grahita, tuna rungu, dan autisme.

Anak anak berkebutuhan khusus tersebut menunjukkan banyak ekspresi bingung dan beberapa marah karena belum memahami secara benar mengapa sekolah harus libur dan harus belajar di rumah masing-masing untuk sementara waktu.

‘’Kita ajak nonton video, apa itu corona, dampaknya bagaimana, kita ajarkan mereka menjaga jarak yang kadang justru menimbulkan emosi, karena mereka mengartikan jaga jarak sebagai diskriminasi kaum mereka. Akhirnya, setiap guru berbagi tugas memahamkan semua anak didiknya masing masing dan mereka mencoba menerima, meski banyak protes dengan gaya mereka masing masing,’’tuturnya.

Baca juga: Kisah Agus, Penyandang Tunanetra Dirikan Rumah Belajar Gratis Bagi Anak Berkebutuhan Khusus

Para guru sangat memahami, dunia anak anak berkebutuhan khusus, justru ada di sekolah, sebuah wadah dimana mereka bisa berinteraksi dengan bebas sesamanya, tanpa ada jarak karena kekurangan mereka.

Di sekolah lah mereka saling mengenal, mendapat banyak teman, dan merasa diperhatikan.

Sekolah menjadikan ikatan batin mereka demikian kuat sehingga rasa persaudaraan begitu mengakar. Mereka memiliki ekspresi berbeda ketika merasa saudara mereka terzalimi atau mendapat perlakuan tak mengenakkan dari orang normal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com